TEORI
NILAI
Diajukan untuk memenuhi tugas mata
kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan
OLEH
:
DELIMA ANDRIYANI (2225140317)
MEIDITA NUR AZIZAH (2225140954)
NUR
ALVIAH (2225140940)
Semester
III Kelas A
JURUSAN
PENDIDIKAN MATEMATIKA
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
2015
KATA
PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Teori Nilai” sebagai salah satu kegiatan belajar dan sebagai tugas mata kuliah
Filsafat Ilmu Pendidikan.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini tidak terlepas dari bantuan dan dorongan dari beberapa pihak, maka
pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Bapak
Drs. Adang Heriawan, M.Pd selaku dosen Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan yang
telah memberikan masukan dalam penyusunan makalah ini;
2. Kedua
orang tua, serta semua pihak yang telah memberikan semangat, ide, dan
bantuannya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini.
Penulis menyadari bahwa
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan dalam penulisannya, maka dari itu
diharapkan kritik dan saran yang konstruktif dari para pembaca demi
kesempurnaan makalah ini. Semoga makalah ini
bermanfaat bagi penulis dan Mata Kuliah Filsafat Ilmu Pendidikan pada umumnya.
Serang, 28 September
2015
Penulis
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar
Belakang
Manusia dikenal sebagai
makhluk berfikir. Dan hal inilah yang menjadikan manusia istimewa dibandingkan
makhluk lainnya. Kemampuan berpikir atau daya nalar manusia yang
menyebabkannya mampu mengembangkan pengetahuan berfilsafatnya. Dia mengetahui
mana yang benar dan mana yang salah, mana yang baik dan mana yang buruk, yang
indah dan yang jelek. Secara terus menerus manusia diberikan berbagai pilihan.
Perilaku manusia sangat berhubungan dengan nilai.
Semua yang dikerjakan manusia dapat menghasilkan sesuatu yang bernilai. Salah satu kajian di dalam
filsafat adalah aksiologi. Pada pembahasan aksiologi ini, maka
manusia akan berfikir “apakah yang saya lakukan ini pantas atau tidak?” atau
muncul pertanyaan “apakah benda itu bernilai karena kita menilainya, ataukah
kita menilainya karena benda itu bernilai?”. Oleh karena itu, dalam
makalah ini kami akan membahas lebih jauh mengenai dimensi aksiologi.
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka rumusan
masalah dalam makalah ini adalah:
1. Apa
pengertian aksiologi?
2. Bagaimana
konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai?
3. Bagaimana
jenis, hakikat, dan makna nilai?
C. Tujuan Penulisan
Berdasarkan
rumusan masalah, tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai berikut:
1.
Untuk mengetahui pengertian aksiologi.
2.
Untuk memahami konsep nilai, karakteristik dan tingkatan nilai.
3.
Untuk mengetahui jenis, hakikat, dan
makna nilai.
BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian
Aksiologi
Kata aksiologi berasal dari bahasa Inggris “axiology”; dari kata
Yunani “axios” yang artinya layak; pantas; nilai, dan “logos”
artinya ilmu; studi mengenai. Aksiologi dipahami sebagai teori
nilai. Dari
pengertian menurut bahasa tersebut, ada beberapa pengertian secara istilah,
yaitu:
- Aksiologi merupakan analisis nilai-nilai. Maksud dari analisis ini ialah membatasi arti, ciri-ciri, asal, tipe, kriteria dan status epistimologis dari nilai-nilai itu.
- Aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala yang bernilai.
- Aksiologi adalah studi filosofis tentang hakikat nilai-nilai. Pertanyaan mengenai hakikat nilai ini dapat dijawab dengan tiga macam cara, yaitu:
a.
Nilai sepenuhnya
berhakikat subjektif. Ditinjau dari sudut pandangan ini, nilai-nilai merupakan
reaksi-reaksi yang diberikan oleh manusia sebagai pelaku. Pengikut teori
idealisme subjektif (positivisme logis, emotivisme, analisis linguistik dalam
etika) menganggap nilai sebagai sebuah fenomena kasadaran dan memandang nilai
sebagai pengungkapan perasaan psikologis, sikap subjektif manusia kepada objek
yang dinilainya.
b.
Nilai-nilai merupakan kenyataan, namun tidak terdapat
dalam ruang waktu. Nilai-nilai merupakan esensi-esensi logis dan dapat
diketahui melalui akal.
Menurut John Sinclair, dalam lingkup kajian
filsafat nilai merujuk pada pemikiran atau suatu sistem seperti politik, sosial,
dan agama. Sistem mempunyai rancangan bagaimana tatanan, rancangan dan aturan
sebagai satu bentuk pengendalian terhadap satu institusi dapat terwujud.
Nilai merupakan tema baru dalam filsafat aksiologi,
cabang filsafat yang mempelajarinya muncul pertama kali pada paroh kedua abad
ke-19. Aksiologi ialah ilmu pengetahuan yang menyelidiki hakekat nilai, pada
umumnya ditinjau dari sudut pandangan kefilsafatan. Di dunia ini terdapat
banyak cabang pengetahuan yang bersangkutan dengan masalah-masalah nilai yang
khusus seperti epistimologis, etika dan estetika. Epistimologi bersangkutan
dengan masalah kebenaran, etika bersangkutan dengan masalah kebaikan, dan
estetika bersangkutan dengan masalah keindahan.
Menurut
Richard Bender, suatu nilai adalah sebuah pengalaman yang memberikan suatu
pemuasan kebutuhan yang diakui bertalian dengan pemuasan kebutuhan yang diakui
bertalian, atau yang menyumbangkan pada pemuasan yang demikian. Dengan
demikian kehidupan yang bermanfaat ialah pencapaian dan sejumlah pengalaman nilai
yang senantiasa bertambah.
Lorens
Bagus (2002) dalam bukunya Kamus Filsafat menjelaskan tentang nilai yaitu
sebagai berikut:
- Nilai dalam bahasa Inggris value, bahasa Latin valere (berguna,mampu akan, berdaya, berlaku, kuat).
- Nilai ditinjau dari segi Harkat adalah kualitas suatu hal yang menjadikan hal itu dapat disukai,diinginkan, berguna, atau dapat menjadi objek kepentingan.
- Nilai ditinjau dari segi Keistimewaan adalah apa yang dihargai, dinilai tinggi atau dihargai sebagai sesuatu kebaikan. Lawan dari suatu nilai positif adalah “tidak bernilai” atau “nilai negatif”. Baik akan menjadi suatu nilai dan lawannya (jelek, buruk) akan menjadi suatu “nilai negatif” atau “tidak bernilai”.
- Nilai ditinjau dari sudut Ilmu Ekonomi yang bergelut dengan kegunaan dan nilai tukar benda-benda material, pertama kali menggunakan kata “nilai”.
Kattsoff dalam Soejono Soemargono (2004:318),
mengatakan bahwa nilai itu sangat erat kaitannya dengan kebaikan atau dengan
kata baik, walaupun fakta baiknya, bisa berbeda-beda satu dengan yang lainnya.
Secara historis,
istilah yang lebih umum dipakai adalah etika (ethics) atau moral (morals).
Tetapi dewasa ini, istilah axios (nilai) dan logos (teori) lebih akrab dipakai
dalam dialog filosofis. Jadi, aksiologi bisa disebut sebagai the theory of
value atau teori nilai. Bagian dari filsafat yang menaruh perhatian tentang
baik dan buruk (good and bad), benar dan salah (right and wrong), serta tentang
cara dan tujuan (means and ends). Aksiologi mencoba merumuskan suatu teori yang
konsisten untuk perilaku etis. Ia bertanya seperti apa itu baik (what is
good?). Tatkala yang baik teridentifikasi, maka memungkinkan seseorang untuk
berbicara tentang moralitas, yakni memakai kata-kata atau konsep-konsep semacam
“seharusnya” atau “sepatutnya” (ought/should). Demikianlah aksiologi terdiri
dari analisis tentang kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam
rangka menciptakan atau menemukan suatu teori nilai.
B.
Konsep
Tentang Nilai
Konsep nilai merupakan komplemen dan sekaligus lawan konsep fakta.
Kita memang hanya mengetahui fakta, tetapi mesti mencari nilai. Karena apapun,
sikap apapun, ideal mana saja, maksud apa saja, maksud manapun, atau tujuan
mana saja pasti mempunyai nilai, maka nilai mesti merupakan objek preferensi
atau penilaian kepentingan. Dalam sejarah filsafat telah muncul sejumlah nilai.
Teori umum tentang nilai bermula dari perdebatan antara Alexius Meinong
dengan Cristian von Ehrenfels pada tahun 1890-an berkaitan dengan sumber
nilai. Meinong memandang bahwa sumber nilai adalah perasaan (feeling),
atau perkiraan atau kemungkinan adanya kesenangan terhadap suatu objek.
Ehrenfels (juga Spinoza) melihat bahwa sumber nilai adalah hasrat/keinginan (disire).
Suatu objek menyatu dengan nilai melalui keinginan aktual atau yang
memungkinkan, artinya suatu objek memiliki nilai karena ia menarik. Menurut
kedua pendapat tersebut, nilai adalah milik objek itu sendiri-obyektivisme
aksiologis.
1. Persoalan Aksiologis Dalam Kehidupan
Sehari-hari
Diskusi pada umumnya menunjukkan sikap aksiologi yang ekstrim. Bila dua
orang tidak sependapat mengenai makanan atau minuman yang menyenangkan atau
tidak, dan mereka gagal untuk saling meyakinkan, diskusi pada umumnya berakhir
dengan pernyataan dari salah satu di antara kedua belah pihak bahwa dia
menyenangi atau tidak menyenangi hal itu, dan tidak seorang pun yang dapat
meyakinkan lawan bicaranya. Jika terdapat persoalan dalam sebuah diskusi di antara
dua orang terpelajar, maka akan teringat peribahasa latin yang sering
diucapakan: “selera tidak dapat diperdebatkan” (de gustibus non disputandum).
Orang yang mendukung tesis de gustibus non disputandum ingin menunjukkan satu
ciri khas nilai, yaitu sifat yang mendalam dan langsung dari penilaian.
Konflik ini merupakan yang sangat menggelitik bagi aksiologi kontemporer.
Sebenarnya, hal itu lahir bersama aksiologi itu sendiri dan sejarah teori nilai
dapat ditulis, dengan memandang persoalan ini sebagai sumber dan dengan
mensketsakan berbagai penyelesaian yang telah dikemukakan dalam rangka
menyelesaikannya. Meskipun maknanya mungkin berbeda, persoalan tersebut telah
muncul pada Plato; shakespeare yang menempatkannya dalam Troilus and Cresida
(II,2) dan Spinoza memilih salah satu alternatif di dalam Etika-nya (III,
prop.IX).
2. Nilai
itu Objektif atau Subjektif
Inti persoalan tersebut dapat dinyatakan dengan pertanyaan berikut: apakah
objek itu memiliki nilai karena kita mendambakannya, atau apakah kita mendambakannya
karena objek tersebut memiliki nilai? Apakah hasrat, kenikmatan atau perhatian
yang memberikan nilai kepada suatu objek, ataukah sebaliknya, kita mengalami
preferensi ini karena kenyataan bahwa objek tersebut memiliki nilai yang
mendahului dan asing bagi reaksi psikologis badan organis kita? Atau, jika
orang lebih menyukai terminologi yang lebih teknis dan tradisional: apakah
nilai itu objektif atau subjektif?
Dengan pengajuan pertanyaan seperti itu, sebelumnya diperlukan penjelasan
istilah untuk menghindarkan diri agar tidak terjebak ke dalam disputatio de
nominem. Nilai itu “objektif” jika ia tidak tergantung pada subjek atau
kesadaran yang menilai; sebaliknya nilai itu“subjektif” jika
eksistensinya, maknanya, dan validitasnya tergantung pada reaksi subjek yang
melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan apakah ini bersifat psikis ataupun
fisis.
a) Obyektivisme
atau Realisme Aksiologi
Nilai, norma, ideal dan sebagainya merupakan unsur atau berada dalam objek
atau berada pada realitas obyektif (kata Alexander); atau ia dianggap berasal
dari suatu objek melalui ketertarikan (kata Spinoza). Penetapan sebuah nilai
memiliki makna, yakni benar atau salah, meskipun nilai itu tidak dapat
diverifikasi, yakni tidak dapat dijelaskan melalui suatu istilah tertentu.
Nilai berada dalam suatu objek seperti halnya warna atau suhu. Nilai terletak
dalam realitas. Bahwa nilai-nilai – seperti kebaikan, kebenaran,
keindahan - ada dalam dunia nyata dan dapat ditemukan sebagai
entitas-entitas, kualitas-kualitas, atau hubungan-hubungan seperti meja, merah.
Juga pandangan bahwa nilai-nilai adalah objektif, dalam arti bahwa
nilai-nilai itu dapat didukung oleh argumentasi cermat dan rasional konsisten
sebagai yang terbaik dalam situasi itu. Pendukung obyektivisme aksiologis
mencakup Plato, Aristoteles, St. Thomas Aquinas, Maritain, Rotce, Urban,
Bosanquet, Whitehead, Joad, Spauling, Alexander, dan lain-lain.
b) Subyektivisme
Aksiologis
Teori-teori berkaitan dengan pandangan ini mereduksi penentuan nilai-nilai,
seperti kebaikan, kebenaran, keindahan ke dalam statmen yang berkaitan dengan
sikap mental terhadap suatu objek atau situasi. Penentuan nilai sejalan dengan
pernyataan setuju atau tidak. Nilai memiliki realitas hanya sebagai suatu
keadaan pikiran terhadap suatu objek.
Subyektivisme aksiologis cenderung mengabsahkan teori etika yang disebut
hedonisme, sebuah teori yang menyatakan kebahagiaan sebagai kriteria nilai, dan
naturalisme yang meyakini bahwa suatu nilai dapat direduksi ke dalam suatu
pernyataan psikologis. Nilai tergantung dengan pengalaman manusia tentangnya;
nilai tidak memiliki realitas yang independen (relativisme aksiologis).
Yang termasuk pendukung subyektivisme aksiologis adalah Hume, Perry, Prall,
Parker, Santayana, Sartre, dan lain-lain. Suatu nilai dikatakan absolute atau abadi, apabila nilai yang berlaku
sekarang sudah berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku serta abasah
sepanjang masa, serta akan berlaku bagi siapapun tanpa memperhatikan ras,
maupun kelas social. Dipihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai
relatif sesuai dengan keinginan atau harapan manusia.
3. Relasionisme
Aksiologis
Nilai tidak bersifat privat (subyektif), tetapi bersifat publik, meskipun
tidak bersifat obyektif dalam arti tidak terlepas dari berbagai kepentingan. Penganjur
relasionisme aksiologis di antaranya Dewey, Pepper, Ducasse, Lepley, dan
lain-lain.
4. Nominalisme atau Skeptisisme (Emotivisme
Aksiologis)
Teori-teori yang didasarkan pada pandangan ini mengatakan bahwa penentuan
nilai adalah ekspresi emosi atau usaha untuk membujuk. Yang semuanya tidak
faktual. Ilmu tentang nilai – aksiologi – adalah mustahil. Ajaran G. E. Moore
tentang kebahagiaan yang tidak dapat dijelaskan. Tetapi kebaikan mungkin saja
secara faktual diletakkan pada suatu tindakan atau suatu obyek, walaupun
bersifat intuitif dan tidak dapat diverifikasi.
I. A. Richard membedakan antara makna faktual dan makna emotif. Catatan
sejarah menyebutkan asal mula emotivisme, yaitu berasal dari logika
positivisme: bahwa nilai adalah sesuatu yang tidak dapat dijelaskan dan
bersifat emotif, meski memiliki makna secara faktual. Nilai sama sekali tidak
dapat digambarkan sebagai keadaan suatu subyek, obyek ataupun sebagai hubungan.
Pendukung emotivisme antara lain: Nietzsche, Ayer, Russel, Stevenson, Schlick,
Carnap, dan lain-lain.
5. Nilai dan Kebaikan
Sebelum masa Rudolf H. Lotze (1817-1881) para filsuf hanya kadang-kadang
saja membicarakan tentang nilai. Sehubungan dengan nilai, sesungguhnya filsafat
selalu bergelut dengannya, tetapi di bawah aspek baik dan kebaikannya (bonum
et bonitas). Filsafat nilai pada zaman modern (Max Scheler) yang bermula
dari Lotze membuat pembedaan tajam antara nilai dan kebaikan. Karena
nilai-nilai dalam arti ini dipikirkan sebagai ide-ide dari dunia lain yang
dapat diperkenalkan kepada dunia nyata dengan peralatan manusia, pandangan ini
pantas dinamakan teori “idealisme nilai”. Lawan idealisme nilai adalah realisme
nilai atau lebih baik, metafisika nilai, yang mengatasi pemisahan
nilai dari yang ada (al-mawjud).
6. Nilai dan Persepsi
Ciri khusus dari persepsi-nilai kita tergantung pada sifat hakiki nilai itu
sendiri. Kalau nilai terpisah dari eksistensi, nilai sama sekali tidak dapat
dimasuki oleh akal manusiawi yang tertuju pada eksistensi. Karena nilai itu
menampakkan dirinya hanya kepada perasaan emosional, akibatnya terdapat sejenis
irasionalisme-nilai. Lawan irasionalisme-nilai adalah rasionalisme-nilai
yang mereduksikan ciri khusus nilai pada eksistensinya saja. Di antara kedua
ekstrim ini terdapat hal seperti persepsi intelektual terhadap nilai. Karena
persepsi-nilai intelektual selalu dikondisikan oleh emosi dan hasrat.
C.
Karakteristik
dan Tingkatan Nilai
Ada beberapa
karakteristik nilai yang berkaitan dengan teori nilai, yaitu :
1.
Nilai objektif atau subjektif
Nilai
itu objektif jika ia tidak bergantung pada subjek atau kesadaran yang menilai;
sebaliknya nilai itu subjektif jika eksistensinya, maknanya, dan validitasnya
tergantung pada reaksi subjek yang melakukan penilaian, tanpa mempertimbangkan
apakah ini bersifat psikis atau fisik.
2.
Nilai absolut atau berubah
Suatu
nilai dikatakan absolut atau abadi, apabila nilai yang berlaku sekarang sudah
berlaku sejak masa lampau dan akan berlaku sepanjang masa, serta
akan berlaku bagi siapa pun tanpa memperhatikan ras, maupun kelas sosial.
Di pihak lain ada yang beranggapan bahwa semua nilai relatif sesuai dengan keinginan
atau harapan manusia.
Terdapat
beberapa pandangan yang berkaitan dengan tingkatan atau hierarki nilai :
1. Kaum
Idealis
Mereka
berpandangan secara pasti terhadap tingkatan nilai, dimana nilai spiritual
lebih tinggi dari pada nilai non spiritual (nilai material).
2. Kaum
Realis
Mereka
menempatkan nilai rasional dan empiris pada tingkatan atas, sebab membantu
manusia menemukan realitas objektif, hukum-hukum alam dan aturan berfikir
logis.
3. Kaum
Pragmatis
Menurut
mereka, suatu aktivitas dikatakan baik seperti yang lainnya, apabila memuaskan
kebutuhan yang penting, dan memiliki nilai instrumental. Mereka sangat
sensitif terhadap nilai-nilai yang menghargai masyarakat.
D.
Jenis Nilai
Aksiologi
sebagai cabang filsafat dapat kita bedakan menjadi 2, yaitu:
a. Etika dan Pendidikan
a. Etika dan Pendidikan
- Etika
Etika
berasal dari kata “ethos” (Yunani) yang berarti adat kebiasaan. Dalam istilah
lain, para ahli yang bergerak dalam bidang etika menyebutkan dengan moral,
berasal dari bahasa Yunani, juga berarti kebiasaan. Etika merupakan teori
tentang nilai, pembahasan secara teoritis tentang nilai, ilmu kesusilaan yang
memuat dasar untuk berbuat susila. Sedangkan moral pelaksanaannya dalam
kehidupan. Jadi, etika merupakan cabang filsafat yang membicarakan perbuatan
manusia. Cara memandangnya dari sudut baik dan tidak baik, etika merupakan
filsafat tentang perilaku manusia.
- Filsafat Pendidikan Islam dan Etika Pendidikan
Antara
ilmu (pendidikan) dan etika memiliki hubungan erat. Masalah moral tidak bisa
dilepaskan dengan tekad manusia untuk menemukan kebenaran, sebab untuk menemukan
kebenaran dan terlebih untuk mempertahankan kebenaran, diperlukan keberanian
moral. Sangat sulit membayangkan perkembangan iptek tanpa adanya kendali dari
nilai-nilai etika agama. Untuk itulah kemudian ada rumusan pendekatan
konseptual yang dapat dipergunakan sebagai jalan pemecahannya, yakni dengan
menggunakan pendekatan etik-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam
coba dilihat dari perspektif yang mengikut sertakan kepentingan masing-masing
pihak, baik itu siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini
berarti pendidikan Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu
kepribadian yang mantap dan dinamis, mandiri dan kreatif. Tidak hanya pada
siswa melainkan pada seluruh komponen yang terlibat dalam penyelenggaraan
pendidikan Islam. Terwujudnya kondisi mental-moral dan spiritual religius
menjadi target arah pengembangan sistem pendidikan Islam. Oleh sebab itu, berdasarkan pada pendekatan etik moral pendidikan Islam harus berbentuk
proses pengarahan perkembangan kehidupan dan keberagamaan pada peserta didik ke
arah idealitas kehidupan Islami, dengan tetap memperhatikan dan memperlakukan
peserta didik sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki serta latar belakang
sosio budaya masing-masing.
b. Estetika dan
Pendidikan
- Estetika
Estetika merupakan nilai-nilai yang
berkaitan dengan kreasi seni dengan pengalaman-pengalaman kita yang berhubungan
dengan seni. Hasil-hasil ciptaan seni didasarkan atas prinsip-prinsip yang
dapat dikelompokkan sebagai rekayasa, pola, bentuk dsb.
- Filsafat Pendidikan Islam dan Estetika Pendidikan
Adapun yang mendasari hubungan antara
filsafat pendidikan Islam dan estetika pendidikan adalah lebih menitik beratkan
kepada “predikat” keindahan yang diberikan pada hasil seni. Dalam dunia pendidikan
sebagaimana diungkapkan oleh Randall dan Buchler mengemukakan ada tiga interpretasi
tentang hakikat seni:
1. Seni
sebagai penembusan terhadap realitas, selain pengalaman.
2. Seni
sebagai alat kesenangan.
3. Seni
sebagai ekspresi yang sebenarnya tentang pengalaman.
Namun,
dalam dunia pendidikan hendaklah nilai estetika menjadi patokan penting dalam
proses pengembangan pendidikan yakni dengan menggunakan pendekatan
estetis-moral, dimana setiap persoalan pendidikan Islam dilihat dari
perspektif yang mengikutsertakan kepentingan masing-masing pihak, baik itu
siswa, guru, pemerintah, pendidik serta masyarakat luas. Ini berarti pendidikan
Islam diorientasikan pada upaya menciptakan suatu kepribadian yang kreatif,
berseni (sesuai dengan Islam).
E. Hakikat dan Makna Nilai
Hakikat dan makna nilai adalah
berupa norma, etika, peraturan, undang-undang, adat kebiasaan, aturan agama dan
rujukan lainnya yang memiliki harga dan dirasakan berharga bagi seseorang.
Nilai bersifat abstrak, berada dibalik fakta, memunculkan tindakan, terdapat
dalam moral seseorang, muncul sebagai ujung proses psikologis, dan berkembang
kearah yang lebih kompleks.
Mengenai makna nilai Kattsoff
mengatakan, bahwa nilai mempunyai beberapa macam makna. Sejalan dengan itu,
maka makna nilai juga bermacam-macam. Rumusan yang bisa penulis kemukakan
tentang makna nilai itu adalah bahwa sesuatu itu harus mengandung nilai
(berguna), merupakan nilai (baik, benar, atau indah), mempunyai nilai artinya
merupakan objek keinginan, mempunyai kualitas yang dapat menyebabkan orang
mengambil sikap “menyetujui” atau mempunyai sifat nilai tertentu, dan memberi
nilai, artinya menanggapi seseuatu sebagai hal yang diinginkan atau sebagai hal
yang menggambarkan nilai tertentu.
BAB III
KESIMPULAN
Filsafat
nilai atau aksiologi merupakan studi yang menyangkut teori umum tentang nilai atau suatu studi yang menyangkut segala
yang bernilai secara filosofis, mendasar, menyeluruh, sistematis, sampai pada
hakikat nilai itu sendiri untuk mendapatkan kebenaran sesuai dengan kenyataan. Aksiologi terdiri dari analisis tentang
kepercayaan, keputusan, dan konsep-konsep moral dalam rangka menciptakan atau
menemukan suatu teori nilai.
Selain itu, aksiologi berhubungan dengan etika dan estetika, baik nilai itu sesuatu
yang bersifat subjektif maupun objektif. Tujuan nilai adalah untuk mengetahui
apakah sesuatu itu baik atau buruk, suka atau tidak suka, senang atau tidak
senang, dan sebagainya. Sehingga dengan mengetahui nilai, maka akan tercapai apa
yang menjadi tujuan manusia.
DAFTAR
PUSTAKA
Bagus
Lorens. 2005. Kamus Filsafat.
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
O. Kattsoff, Louis. (2004). Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.
Gazalba, Sidi. (2002). Sistematika
Filsafat, Buku keempat, Pengantar Kepada Teori Nilai. Jakarta : Bulan
Bintang.
“Filsafat Nilai”. Melalui
<https://sites.google.com/site/rosadteaconr/artikel/filsafat-nilai-aksiologi>
[28/09/15]