A. PENGERTIAN
FENOMENOLOGI
Fenomenologi adalah studi tentang Phenomenon. Kata ini berasal dari bahasa
Yunani Phainein berarti menunjukkan. Dari kata ini timbul kata Pheinomenon
berarti yang muncul dalam kesadaran manusia. Dalam fenomenologi, ditetapkan
bahwa setiap gambaran pikir dalam pikiran sadar manusia, menunjukkan pada suatu
hal keadaan yang disebut intentional (berdasarkan niat atau keinginan).
Secara harfiah, fenomenologi atau fenomenalisme adalah aliran atau faham
yang menganggap bahwa fenomenalisme adalah sumber pengetahuan dan kebenaran.
Fenomenalisme juga adalah suatu metode pemikiran.
Fenomenologi merupakan sebuah aliran. Yang berpendapat bahwa, hasrat yang
kuat untuk mengerti yang sebenarnya dapat dicapai melalui pengamatan terhadap
fenomena atau pertemuan kita dengan realita. Karenanya, sesuatu yang terdapat
dalam diri kita akan merangsang alat inderawi yang kemudian diterima oleh akal
( otak ) dalam bentuk pengalaman dan disusun secara sistematis dengan jalan
penalaran. Penalaran inilah yang dapat membuat manusia mampu berpikir secara
kritis.
Fenomenologi merupakan kajian tentang bagaimana manusia sebagai subyek
memaknai obyek-obyek di sekitarnya. Ketika berbicara tentang makna dan
pemaknaan yang dilakukan, maka hermeneutik terlibat di dalamnya. Pada intinya,
bahwa aliran fenomenologi mempunyai pandangan bahwa pengetahuan yang kita
ketahui sekarang ini merupakan pengetahuan yang kita ketahui sebelumnya melalui
hal-hal yang pernah kita lihat, rasa, dengar oleh alat indera kita.
Fenomenologi merupakan suatu pengetahuan tentang kesadaran murni yang dialami
manusia.
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat difahami bahwa fenomenologi
berarti ilmu tentang fenomenon-fenomenon apa saja yang nampak. Sebuah
pendekatan filsafat yang berpusat pada analisi terhadap gejala yang menampakkan
diri pada kesadaran kita.
B. TOKOH-TOKOH FILSAFAT FENOMENOLOGI
1.
Edmund
Husserl (1859-1938)
Menurut Husserl, memahami
fenomenologi sebagai suatu metode dan ajaran filsafat. Sebagai metode, Husserl
membentangkan langkah-langkah yang harus diambil agar sampai pada fenomeno yang
murni. Untuk melakukan itu, harus dimulai dengan subjek (manusia) serta
kesadarannya dan berusaha untuk kembali pada kesadaran murni. Sedangkan sebagai
filsafat, fenomenologi memberikan pengetahuan yang perlu dan essensial tentang
apa yang ada. Dengan kata lain, fenomenologi harus dikembalikan kembali objek
tersebut.
Metode fenomenologi menurut Husserl, menekankan satu hal penting yaitu,
penundaan keputusan. Penundaan keputusan harus ditunda (epoche) atau
dikurung (bracketing) untuk memahami fenomena. Pengetahuan yang kita
miliki tentang fenomena itu harus kita tinggalkan atau lepaskan dulu, agar
fenomena itu dapat menampakkan dirinya sendiri.
Untuk memahami filsafat Husserl ada beberapa kata kunci yang perlu
diketahui. Diantaranya:
- Fenomena adalah realitas esensi atau dalam fenomena terkandung pula nomena (sesuatu yang berada di balik fenomena)
- Pengamatan adalah aktivitas spiritual atau rohani.
- Kesadaran adalah sesuatu yang intensional (terbuka da terarah pada subjek
- Substansi adalah kongkret yang menggambarkan isi dan stuktur kenyataan dan sekaligus bisa terjangkau.
Usaha untuk mencapai segala sesuatu itu harus melalui reduksi atau
penyaringan yang terdiri dari :
- Reduksi fenomenologi, yaitu harus menyaring pengalaman-pengalaman dengan maksud mendapat fenomena dalam wujud semurni-murninya. Dalam artian bahwa, kita harus melepaskan benda-benda itu dari pandangan agama, adat istiadat, ilmu pengetahuan dan ideologi.
- Reduksi eidetis, yaitu dengan menyaring atau penempatan dalam tanda kurung sebagai hal yang bukan eidos atau intisari atau hakikat gejala atau fenomena.
- Reduksi transcendental, yaitu dalam penerapannya berdasarkan subjeknya sendiri perbuatannya dan kesadaran yang murni.
Namun, menurut para pengikut fenomenologi suatu fenomena tidak selalu harus
dapat diamati dengan indera. Sebab, fenomena dapat juga dilihat atau ditilik
secara ruhani tanpa melewati indera, fenomena tidak perlu suatu peristiwa.
Scheller berpendapat bahwa metode fenomenologi sama dengan cara tertentu
untuk memandang realitas. Dalam hubungan ini kita mengadakan hubungan langsung
dengan realitas berdasarkan intuisi (pengalaman fenomenologi).
Menurutnya ada 3 fakta yang memegang peranan penting dalam pengalaman
filsafat. Diantaranya:
- Fakta natural, yaitu berdasarkan pengalaman inderawi yang menyangkut benda-benda yang nampak dalam pengalaman biasa.
- Fakta ilmiah, yaitu yang mulai melepas diri dari penerapan inderawi yang langsung dan semakin abstrak.
- Fakta fenomenologis, merupakan isi intuitif yang merupakan hakikat dari pengalaman langsung.
3. Martin Heidegger (1889-1976)
Menurut Heidegger, manusia itu terbuka bagi dunianya dan sesamanya.
Kemampuan seseorang untuk bereksistensi dengan hal-hal yang ada di luar dirinya
karena memiliki kemampuan seperti kepekaan, pengertian, pemahaman, perkataan
atau pembicaraan.
Bagi heidegger untuk mencapai manusia utuh maka manusia harus
merealisasikan segala potensinya meski dalam kenyataannya seseorang itu tidak
mampu merealisasikannya. Ia tetap sekuat tenaga tidak pantang menyerah dan
selalu bertanggungjawab atas potensi yang belum teraktualisasikan.
Dalam persfektif yang lain mengenai sesosok Heidegger menjadi salah satu
filsafat yang fenomenal yaitu bahwa ia mengemukakan tentang konsep suasana hati
(mood). Seperti yang kita ketahui bahwa dengan suasana hatilah kita
diatur oleh dunia kita, bukan dalam pendirian pengetahuan observasional yang
berjarak. Biasanya, dengan posisi kita yang sedang bersahabat dengan suasana
hati, maka kita akan bisa mengenali diri kita yang sesungguhnya. Karena suasana
hati bisa menjadi tolak ukur untuk mengetahui hakikat diri dengan banyaknya
pertanyaan yang muncul seperti pencarian jati diri siapa kita sesungguhnya, apa
kemampuan kita, dan apa kekurangan atau kelebihan yang kita miliki,
bagaimanakah kehidupan kita yang selanjutnya dan pertanyaan-pertanyaan lainnya.
Konsep inilah yang menguatkan pendapat banyak orang mengenai sesosok orang
yang mampu melihat noumena dan phenoumena.
4. Maurice Merlean-ponty (1908-1961)
Sebagaimana halnya Husserl, ia yakin seorang filosof benar-benar harus
memulai kegiatannya dengan meneliti pengalaman. Pengalamannya sendiri tentang
realitas, dengan begitu ia menjauhkan diri dari dua ekstrim yaitu :
Pertama hanya meneliti atau mengulangi penelitian tentang apa
yang telah dikatakan orang tentang realita, dan Kedua hanya
memperhatikan segi-segi luar dari pengalaman tanpa menyebut-nyebut realitas
sama sekali.
Walaupun Marlean-Ponty setuju dengan Husserl bahwa kitalah yang dapat
mengetahui dengan sesuatu dan kita hanya dapat mengetahui benda-benda yang
dapat dicapai oleh kesadaran manusia, namun ia mengatakan lebih jauh lagi,
yakni bahwa semua pengalaman perseptual membawa syarat yang essensial tentang
sesuatu alam di atas kesadaran.
Oleh karena itu deskripsi fenomenologi yang dilakukan Marlean-Ponty tidak
hanya berurusan dengan data rasa atau essensi saja, akan tetapi menurutnya,
kita melakukan perjumpaan perseptual dengan alam. Marlean-Porty menegaskan
sangat perlunya persepsi untuk mencapai yang real.
C.
JENIS-JENIS TRADISI FENOMENOLOGI
Inti dari tradisi fenomenologi
adalah mengamati kehidupan dalam keseharian dalam suasana yang alamiah. Tradisi
memandang manusia secara aktif mengintrepretasikan pengalaman mereka sehingga
mereka dapat memahami lingkungannya melalui pengalaman personal dan langsung
dengan lingkungannya. Titik berat tradisi fenomenologi adalah pada bagaimana
individu mempersepsi serta memberikan interpretasi pada pengalaman
subyektifnya. Adapun varian dari tradisi Fenomenologi ini, yaitu:
- Fenomena Klasik, percaya pada kebenaran hanya bisa didapatkan melalui pengarahan pengalaman, artinya hanya mempercayai suatu kebenaran dari sudut pandangnya tersendiri atau obyektif.
- Fenomenologi Persepsi, percaya pada suatu kebenaran bisa di dapatkan dari sudut pandang yang berbeda-beda, tidak hanya membatasi fenomenologi pada obyektifitas, atau bisa dikatakan lebih subyektif.
- Fenomenologi Hermeneutik, percaya pada suatu kebenaran yang di tinjau baik dari aspek obyektifitas maupun subyektifitasnya, dan juga disertai dengan analisis guna menarik suatu kesimpulan.
D.
PRINSIP DASAR FENOMENOLOGI
Stanley Deetz menyimpulkan tiga
prinsip dasar fenomenologis:
- Pengetahuan ditemukan secara langsung dalam pengalaman sadar. Kita akan mengetahui dunia ketika kita berhubungan dengan pengalaman itu sendiri.
- Makna benda terdiri dari kekuatan benda dalam kehidupan seseorang. Bagaimana kita berhubungan dengan benda menentukan maknanya bagi kita.
- Bahasa merupakan kendaraan makna. Kita mengalami dunia melalui bahasa yang digunakan untuk mendefinisikan dan mengekspresikan dunia itu.
E. KELEBIHAN DAN KEKURANGAN FILSAFAT FENOMENOLOGI
Kelebihan filsafat fenomenologi diantaranya dapat diuraikan sebagai berikut
:
- Fenomenologi sebagai suatu metode keilmuan, dapat mendiskripsikan penomena dengan apa adanya dengan tidak memanipulasi data, aneka macam teori dan pandangan.
- Fenomenologi mengungkapkan ilmu pengetahuan atau kebenaran dengan benar-benar yang objektif.
- Fenomenologi memandang objek kajian sebagai bulatan yang utuh tidak terpisah dari objek lainnya.
Dengan demikian fenomenologi menuntut pendekatan yang holistik,
bukan pendekatan partial, sehingga diperoleh pemahaman yang utuh
mengenai objek yang diamati, hal ini lah yang menjadi kelebihan filsafat ini
sehingga banyak dipakai oleh ilmuan-ilmuan pada saat ini terutama ilmuan
sosial, dalam berbagai kajian keilmuan mereka termasuk bidang kajian agama.
Dari berbagai kelebihan tersebut, fenomenologi sebenarnya juga tidak luput
dari berbagai kelemahan, seperti :
- Tujuan fenomenologi untuk mendapatkan pengetahuan yang murni objektif tanpa ada pengaruh berbagai pandangan sebelumnya, baik dari adat, agama ataupun ilmu pengetahuan, merupakan suatu yang absurd.
- Pengetahuan yang didapat tidak bebas nilai (value-free), tapi bermuatan nilai (value-bound).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar