A. FENOMENOLOGI SEBAGAI METODE ILMU
Fenomenologi berkembang sebagai metode untuk mendekati fenomena-fenomena
dalam kemurniannya. Fenomena di sini dipahami sebagai segala sesuatu yang
dengan suatu cara tertentu tampil dalam kesadaran kita. Baik berupa sesuatu
sebagai hasil rekaan maupun berupa sesuatu yang nyata, yang berupa gagasan
maupun kenyataan. Yang penting ialah pengembangan suatu metode yang tidak
memalsukan fenomena, melainkan dapat mendeskripsikannya seperti penampilannya
tanpa prasangka sama sekali.
Seorang fenomenolog hendak menanggalkan segenap teori, praanggapan serta
prasangka, agar dapat memahami fenomena sebagaimana adanya: “Zu den Sachen
Selbst” (kembali kepada bendanya sendiri). Tugas utama fenomenologi menurut
Husserl adalah menjalin keterkaitan manusia dengan realitas.
Bagi Husserl, realitas bukan suatu yang berbeda pada dirinya lepas dari
manusia yang mengamati. Realitas itu mewujudkan diri, atau menurut ungkapan
Martin Heideger, yang juga seorang fenomenolog: “Sifat realitas itu membutuhkan
keberadaan manusia”.
Filsafat fenomenologi berusaha untuk mencapai pengertian yang sebenarnya
dengan cara menerobos semua fenomena yang menampakkan diri menuju kepada bendanya
yang sebenarnya. Usaha inilah yang dinamakan untuk mencapai “Hakikat segala
sesuatu”. Untuk itu, Husserl mengajukan dua langkah yang harus ditempuh untuk
mencapai esensi fenomena, yaitu metode epoche dan eidetich vision.
Kata epoche berasal dari bahasa Yunani, yang berarti: “menunda
keputusan” atau “mengosongkan diri dari keyakinan tertentu”. Epoche bisa
juga berarti tanda kurung (bracketing) terhadap setiap keterangan yang
diperoleh dari suatu fenomena yang nampak, tanpa memberikan putusan benar salahnya
terlebih dahulu. Fenomena yang tampil dalam kesadaran adalah benar-benar
natural tanpa dicampuri oleh presupposisi pengamat.
B. KONTRIBUSI FENOMENOLOGI TERHADAP DUNIA ILMU
PENGETAHUAN
Memperbincangkan fenomenologi tidak bisa ditinggalkan pembicaraan mengenai
konsep Lebenswelt (“dunia kehidupan”). Konsep ini penting artinya, sebagai
usaha memperluas konteks ilmu pengetahuan atau membuka jalur metodologi baru
bagi ilmu-ilmu sosial serta untuk menyelamatkan subjek pengetahuan
Edmund Husserl, dalam karyanya, The Crisis of European Science and
Transcendental Phenomenology, menyatakan bahwa konsep “dunia kehidupan” (lebenswelt
) merupakan konsep yang dapat menjadi dasar bagi (mengatasi) ilmu pengetahuan
yang tengah mengalami krisis akibat pola pikir positivistik dan saintistik,
yang pada prinsipnya memandang semesta sebagai sesuatu yang teratur – mekanis
seperti halnya kerja mekanis jam. Akibatnya adalah terjadinya ‘matematisasi
alam’, alam dipahami sebagai keteraturan (angka-angka). Pendekatan ini telah mendehumanisasi
pengalaman manusia karena para saintis telah menerjemahkan pengalaman manusia
ke formula-formula impersonal.
Dunia kehidupan dalam pengertian Husserl bisa dipahami kurang lebih dunia
sebagaimana manusia menghayati dalam spontanitasnya, sebagai basis tindakan
komunikasi antar subjek. Dunia kehidupan ini adalah unsur-unsur sehari-hari
yang membentuk kenyataan seseorang, yakni unsur dunia sehari-hari yang ia alami
dan jalani, sebelum ia menteorikannya atau merefleksikannya secara filosofis.
Konsep dunia kehidupan ini dapat memberikan inspirasi yang sangat kaya
kepada ilmu-ilmu sosial, karena ilmu-ilmu ini menafsirkan suatu dunia,
yaitu dunia sosial. Dunia kehidupan sosial ini tak dapat diketahui begitu saja
lewat observasi seperti dalam eksperimen ilmu-ilmu alam, melainkan terutama
melalui pemahaman (verstehen ). Apa yang ingin ditemukan dalam dunia
sosial adalah makna, bukan kausalitas yang niscaya.
Tujuan ilmuwan sosial mendekati wilayah observasinya adalah memahami makna.
Seorang ilmuwan sosial, dalam hal ini, tidak lebih tahu dari pada para pelaku
dalam dunia sosial itu. Oleh karena itu, dengan cara tertentu ia harus masuk ke
dalam dunia kehidupan yang unsur-unsurnya ingin ia jelaskan itu. Untuk dapat
menjelaskan, ia harus memahaminya. Untuk memahaminya, ia harus dapat
berpartisipasi ke dalam proses yang menghasilkan dunia kehidupan itu.
Kontribusi dan tugas fenomenologi dalam hal ini adalah deskripsi atas
sejarah lebenswelt (dunia kehidupan) tersebut untuk menemukan ‘endapan makna’
yang merekonstruksi kenyataan sehari-hari. Maka meskipun pemahanan terhadap
makna dilihat dari sudut intensionalitas (kesadaran) individu, namun ‘akurasi’
kebenarannya sangat ditentukan oleh aspek intersubjektif. Dalam arti, sejauh
mana ‘endapan makna’ yang detemukan itu benar-benar di rekonstruksi dari dunia
kehidupan sosial, dimana banyak subjek sama-sama terlibat dan menghayati.
Demikianlah, dunia kehidupan sosial merupakan sumbangan dari fenomenologi,
yang menempatkan fenomena sosial sebagai sistem simbol yang harus dipahami
dalam kerangka konteks sosio-kultur yang membangunnya. Ini artinya unsur subjek
dilihat sebagai bagian tak terpisahkan dari proses terciptanya suatu ilmu
pengetahuan sekaligus mendapatkan dukungan metodologisnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar