Pada dasar filsafat, pertama-tama diperlukan dasar ontologi dari ilmu pendidikan.
Adapun aspek realitas yang di jangkau teori dan ilmu pendidikan melalui
pengalaman panca indra ialah dunia pengalaman manusia secara empiris. Objek
materil ilmu pendidikan ialah manusia seutuhnya. Manusia seutuhnya adalah manusia yang lengkap
aspek-aspek kepribadiannya, yaitu manusia yang berakhlak mulia dalam situasi
pendidikan atau diharapkan melampaui manusia sebagai makhluk sosial, mengingat
manusia sebagai warga masyarakat ia mempunyai ciri warga yang baik (good
citizenship atau kewarganegaraan yang sebaik-baiknya).
Agar
pendidikan dalam praktek terbebas dari keragu-raguan, maka objek formal ilmu
pendidikan dibatasi pada manusia seutuhnya di dalam fenomena atau situasi
pendidikan. Di dalam situasi sosial, manusia sering berperilaku tidak utuh,
hanya menjadi makhluk berperilaku individual dan makhluk sosial yang berperilaku
kolektif. Hal itu boleh saja dan dapat diterima terbatas pada ruang lingkup
pendidikan makro yang berskala besar mengingat adanya konteks sosio-budaya yang
terstruktur oleh sistem nilai tertentu. Akan tetapi pada latar mikro, sistem
nilai harus terwujud dalam hubungan intern dan antar pribadi yang menjadi syarat
mutlak (conditio sine qua non) bagi terlaksananya mendidik dan mengajar, yaitu
kegiatan pendidikan yang berskala mikro.
2.
Dasar Epistemologi
Ilmu Pendidikan
Dasar
epistemologi diperlukan oleh pendidikan atau pakar ilmu pendidikan demi
mengembangkan ilmunya secara produktif dan bertanggung jawab. Epistemologi diperlukan
dalam pendidikan, antara lain dalam hubungannya dengan penyusunan
dasar kurikulum. Pengetahuan apa yang harus diberikan kepada anak didik,
diajarkan di sekolah, dan bagaimana cara memperoleh pengetahuan dan cara menyampaikan
pengetahuan. Teori pengetahuan ini berhubungan dengan hakikat dari ilmu
pengetahuan, pengandaian-pengandaian, dasar-dasarnya, serta pertanggungjawaban
atas pernyataan mengenai pengetahuan yang dimiliki oleh setiap manusia.
Pengetahuan tersebut diperoleh manusia melalui akal dan panca indera dengan berbagai
metode induktif, metode positivisme, dan metode kontemplatis.
Inti
dasar epistemologi adalah agar dapat ditentukan bahwa dalam menjelaskan objek
formalnya, telaah ilmu pendidikan tidak hanya mengembangkan ilmu terapan, melainkan
menuju kepada telaah teori dan ilmu pendidikan sebagai ilmu otonom yang mempunyai
objek formal sendiri atau problematika sendiri sekalipun tidak dapat hanya
menggunakan pendekatan kuantitatif atau pun eksperimental (Campbell &
Stanley, 1963). Dengan demikian, uji kebenaran pengetahuan sangat diperlukan
secara korespondensi, secara koheren, dan sekaligus secara praktis dan atau
pragmatis (Randall & Buchler, 1942).
3.
Dasar Aksiologi
Ilmu Pendidikan
Aksiologi membahas
nilai baik atau nilai buruk, nilai indah atau tidak indah, dan tidak mengakui
nilai absolut tetapi menolak pula nilai yang bersifat subjektif, seperti yang berlaku
dalam nilai estetis. Nilai yang ada adalah nilai yang bersifat io-psikologis
ekonomik historis. Dasar tingkah laku moral adalah pengetahuan ilmiah, serta
cinta dan simpati manusia. Pertimbangan-pertimbangan moral yang tertanam dalam
diri pribadi melalui proses pendidikan dan sosialisasi, menjadi dasar kemauan
bebas dalam menentukan pilihan norma-norma yang tertanam dalam kebiasaan-kebiasaan.
Dalam
pendidikan, nilai ilmu pendidikan tidak hanya bersifat intrinsik sebagai ilmu,
seperti seni untuk seni, melainkan juga nilai ekstrinsik dan ilmu untuk
menelaah dasar-dasar kemungkinan bertindak dalam praktek, melalui kontrol
terhadap pengaruh yang negatif, dan meningkatkan pengaruh yang positif dalam
pendidikan.
Pendidikan yang intinya mendidik dan mengajar ialah
pertemuan antara pendidik sebagai subjek dan peserta didik sebagai subjek pula,
dimana terjadi pemberian bantuan kepada pihak yang belakangan dalam upayanya
belajar mencapai kemandirian dalam batas-batas yang diberikan oleh dunia di sekitarnya.
Atas dasar pandangan filsafah yang bersifat dialogis ini, maka 3 dasar
antropologi berlaku universal tidak hanya sosialitas dan individualitas,
melainkan juga moralitas. Kiranya khusus untuk Indonesia apabila dunia
pendidikan nasional didasarkan atas kebudayaan nasional yang menjadi konteks
dari sistem pengajaran nasional di sekolah, tentu akan diperlukan juga dasar
antropologi pelengkap, yaitu religiusitas. Religiusitas yaitu pendidik dalam
situasi pendidikan sekurang-kurangnya secara mikro berhamba kepada kepentingan
terdidik sebagai bagian dari pengabdian lebih besar kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar