Sabtu, 24 Oktober 2015

PARADIGMA POST-POSITIVISME



A.   PENGERTIAN POST-POSITIVISME

Munculnya gugatan terhadap positivisme di mulai tahun 1970-1980an. Pemikirannya dinamai “post-positivisme”.  Tokohnya adalah Karl  R.  Popper,  Thomas  Kuhn,  para  filsuf  mazhab  Frankfurt (Feyerabend,  Richard  Rotry).  Paham  ini  menentang  positivisme,  alasannya  tidak  mungkin menyamaratakan ilmu-ilmu tentang manusia dengan ilmu alam, karena tindakan manusia tidak bisa diprediksi dengan satu penjelasan yang mutlak pasti, sebab manusia selalu berubah.
Postpositivisme adalah aliran yang ingin memperbaiki kelemahan pada Positivisme. Postpositivisme sependapat dengan Positivisme bahwa realitas itu memang nyata, ada sesuai hukum alam.  Tetapi  pada  sisi  lain,  Postpositivisme  berpendapat  bahwa manusia  tidak  mungkin  mendapatkan kebenaran  dari  realitas  apabila  peneliti  membuat  jarak  dengan  realitas  atau  tidak  terlibat  secara langsung dengan realitas. Hubungan antara peneliti dengan realitas harus bersifat interaktif, untuk itu perlu menggunakan prinsip  trianggulasi, yaitu  penggunaan  bermacam-macam  metode,  sumber  data, data, dan lain-lain.
Paradigma ini merupakan aliran yang ingin memperbaiki kelemahan-kelemahan positivisme, yang hanya mengandalkan kemampuan pengamatan langsung terhadap objek yang diteliti.
Secara ontologis aliran ini bersifat critical realism yang memandang bahwa realitas memang ada dalam kenyataan sesuai dengan hukum alam, tetapi satu hal yang mustahil bila suatu realitas dapat dilihat secara benar oleh manusia (peneliti). Oleh karena itu, secara metodologis pendekatan eksperimental melalui observasi tidaklah cukup, tetapi harus menggunakan metode triangulation, yaitu penggunaan bermacam-macam metode, sumber data, peneliti, dan teori.


B.   ASUMSI DASAR POST-POSITIVISME

  1. Fakta tidak bebas nilai, melainkan bermuatan teori. 
  2. Falibilitas  Teori,  tidak  satupun  teori  yang  dapat  sepenuhnya  dijelaskan  dengan  bukti-bukti empiris, bukti empiris memiliki kemungkinan untuk menunjukkan fakta anomali.
  3. Fakta tidak bebas, melainkan penuh dengan nilai. 
  4. Interaksi  antara  subjek  dan  objek  penelitian.  Hasil  penelitian  bukanlah  reportase  objektif, melainkan  hasil  interaksi  manusia  dan  semesta  yang  penuh  dengan  persoalan  dan  senantiasa berubah. 
  5.  Asumsi dasar post-positivisme tentang realitas adalah jamak individual. 
  6.  Hal itu berarti bahwa realitas (perilaku manusia) tidak tunggal, melainkan hanya bisa menjelaskan dirinya sendiri menurut unit tindakan yang bersangkutan. 
  7.  Fokus kajian post-positivisme adalah tindakan-tindakan (actions) manusia sebagai ekspresi dari sebuah keputusan.


Ada empat pertanyaan dasar yang akan memberikan gambaran tentang posisi aliran post-positivisme dalam kancah paradigma ilmu pengetahuan, yaitu:
Pertama, Bagaimana sebenarnya posisi postpositivisme di antara paradigma-paradigma ilmu yang lain? Apakah ini merupakan bentuk lain dari positivisme yang posisinya lebih lemah? Atau karena aliran ini datang setelah positivisme sehingga dinamakan postpositivisme? Harus diakui bahwa aliran ini bukan suatu filsafat baru dalam bidang keilmuan, tetapi memang amat dekat dengan paradigma positivisme. Salah satu indikator yang membedakan antara keduanya bahwa postpositivisme lebih mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui berbagai macam metode. Dengan demikian suatu ilmu memang betul mencapai objektivitas apabila telah diverifikasi oleh berbagai kalangan dengan berbagai cara.
Kedua, Bukankah postpositivisme bergantung pada paradigma realisme yang sudah sangat tua dan usang? Dugaan ini tidak seluruhnya benar. Pandangan awal aliran positivisme (old-positivism) adalah anti realis, yang menolak adanya realitas dari suatu teori. Realisme modern bukanlah kelanjutan atau luncuran dari aliran positivisme, tetapi merupakan perkembangan akhir dari pandangan postpositivisme.
Ketiga, banyak postpositivisme yang berpengaruh yang merupakan penganut realisme. Bukankah ini menunjukkan bahwa mereka tidak mengakui adanya sebuah kenyataan (multiple realities) dan setiap masyarakat membentuk realitas mereka sendiri? Pandangan ini tidak benar karena relativisme tidak sesuai dengan pengalaman sehari-hari dalam dunia ilmu. Yang pasti postpositivisme mengakui bahwa paradigma hanyalah berfungsi sebagai lensa bukan sebagai kacamata. Selanjutnya, relativisme mengungkap bahwa semua pandangan itu benar, sedangkan realis hanya berkepentingan terhadap pandangan yang dianggap terbaik dan benar. Postpositivisme menolak pandangan bahwa masyarakat dapat menentukan banyak hal sebagai hal yang nyata dan benar tentang suatu objek oleh anggotanya.
Keempat, karena pandangan bahwa persepsi orang berbeda, maka tidak ada sesuatu yang benar-benar pasti. Bukankah postpositivisme menolak kriteria objektivitas? Pandangan ini sama sekali tidak bisa diterima. Objektivitas merupakan indikator kebenaran yang melandasi semua penyelidikan. Jika kita menolak prinsip ini, maka tidak ada yang namanya penyelidikan. Yang ingin ditekankan di sini bahwa objektivitas tidak menjamin untuk mencapai kebenaran.


C. PERBEDAAN PARADIGMA POSITIVISME DAN POSTPOSITIVISME
Untuk  dapat  membedakan  paradigma  Positivisme  dan  paradigma Post-positivisme,  maka dapat dilihat dalam tabel berikut:

NO
ASUMSI
POSITIVISME
POST-POSITIVISME
1
Ontology
Bersifat  nyata,  artinya realita  itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
Realis  kritis, artinya realitas  itu memang  ada, tetapi  tidak  akan pernah dapat dipahami sepenuhnya.
2
Epistemologi
·      Dualis/objektif, adalah mungkin dan esensial  bagi  peneliti  untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan  interaksi dengan  objek yang diteliti.

·      Nilai, faktor bias dan faktor yang mempengaruhi  lainnya  secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
·      Objektivis  modifikasi, artinya objektivitas  tetap  merupakan pengaturan  (regulator)  yang  ideal, namun  objektivitas  hanya  dapat diperkirakan  dengan  penekanan khusus  pada  penjaga  eksternal, seperti tradisi dan komunitas yang kritis.
3
Metodologi
Bersifat eksperimental / manipulatif: pertanyaan-pertanyaan  dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan  dan  diuji  secara empiris (falsifikasi)  dengan  kondisi  yang terkontrol secara cermat.
Bersifat eksperimental / manipulatif  yang dimodifikasi,  maksudnya menekankan  sifat  ganda  yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan  dengan
melakukan  penelitian  dalam  latar yang  alamiah,  yang  lebih  banyak menggunakan  metode-metode kualitatif,  lebih  tergantung  pada teori grounded  (grounded theory) dan memperlihatkan  upaya (reintroducing) penemuan  dalam proses penelitian.

10 komentar:

  1. ada sumber bukunya? mengutip atau merangkai kata sendiri? suwun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bisa anda baca di :

      Robert Jackson dan George Sorensen . (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

      Baylis, John & Smith, Steve (eds.) (2001), The Globalization of World Politics, 2nd edition, Oxford University Press.

      Linklater, Andrew, 2001. English School, dalam Scott Burchill, et al, "Theories of International Relations", Palgrave.

      Hapus
  2. Sesat fikir ini. Franfurt mana ada biacara post positivis
    Post positivis itu paham dari amerika.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Mana ada Frankfurt dari Amerika Tong, belajar darimana? Frankfurt School atau English School dari London, Britania Raya. Pemikirannya memang sudah ada sebelum perdebatan Positivisme dan Post-Positivisme, tapi secara epistemologi Franskfurt menyangkal terhadap teori mainstream saat itu yang didominasi oleh Realisme - Liberalisme dan teori strukturalnya. Sehingga pemikiran sebenarnya adalah masuk dalam ranah post-positivisme Tong meskipun belum ada istilah post-positivisme saat itu. Namun dalam New English School yang digiatkan oleh para penerus Hedley Bull setelah wafat memang masuk dalam ranah Post-Positivisme karena memang sudah lewat Great Debate antara positivisme dan post-positivisme.
      Referensi:
      Robert Jackson dan George Sorensen . (2009). Pengantar Studi Hubungan Internasional. Terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
      Linklater, Andrew, 2001. English School, dalam Scott Burchill, et al, "Theories of International Relations", Palgrave.

      Hapus
    2. Komentar ini telah dihapus oleh pengarang.

      Hapus
    3. Edit : Frankfurt pemikirannya berasal dari Jerman, dalam konteks HI, para scholars mengembangkan pemikiran ini jauh hingga ke Inggris. Secara eksplisit (gamblang, Frankfurt tidak pernah bicara Post-Positivisme, tapi ilmu ditentukan ranahnya dari dasar epistemologi sehingga bisa masuk ke dalam post-positivisme bukan karena ngarang. Tau epistemologi kaga? Begitu Tong, banyak baca sono..

      Hapus
  3. gan bisa jelaskan singkatnya perbedaan postivist dengan podtpositivist kah gan, tolong dibantu ya

    BalasHapus
  4. apakah ada bukunya . sy sedang mncari

    BalasHapus
  5. Ada contoh jurnal yg memakai paradigma post positivisme ga? lagi butuh soalnya nih.

    BalasHapus