Sabtu, 17 Oktober 2015

SEJARAH FILSAFAT - (FILSAFAT PADA ZAMAN MODEREN DAN KONTEMPORER)



A.      PERKEMBANGAN FILSAFAT MODEREN
Filsafat klasik bersifat kosmosentris, filsafat abad pertengahan bersifat teosentris, sedangkan filsafat modern bersifat antroposentris. Di zaman Yunani klasik, pusat perhatian filsafat adalah pertanyaan apa yang merupakan unsur pertama dari kosmos?”. Pada abad pertengahan, Allah diakui sebagai pencipta alam semesta. Sedangkan pada zaman modern, yang menjadi pusat pergulatan filosofis adalah manusia itu sendiri.

1.      Renaissance
Kata ini berasal dari bahasa Prancis dan berarti kelahiran kembali. Maksudnya, usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan Yunani dan  Romawi klasik. Dalam sastra lahirlah humanisme, yang juga mencari inspirasinya pada sastra Yunani dan Romawi. Renaissance ditandai oleh kelahiran kembali di berbagai ilmu, seperti ilmu sastra, kesenian, filsafat, dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam berkembang pesat berdasarkan metode eksperimental.
Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler, dan Galileo Galilei adalah contoh ilmuwan yang membawakan wawasan baru dengan penemuan-penemuan yang penting. Copernicus berdasarkan penyelidikannya, mengemukakan bahwa pandangan geosentris yang dianggap benar selama berabad-abad sebelumnya ternyata salah. Menurut Copernicus, bukan bumi yang menjadi pusat, melainkan matahari adalah pusat jagad raya. Galileo Galilei kemudian memperkuat teori Copernicus tentang heliosentrisme.
Di bidang filsafat, peletak dasar filsafat zaman renaissance adalah Francis Bacon (1561-1623), seorang filsuf dari Inggris.

  a.      Filsafat Abad XVII
Tiga aliran besar filsafat yang muncul dan berkembang pada abad XVII adalah rasionalisme, empirisme, dan idealisme. Berikut dibicarakan tentang ketiga aliran tersebut.
     1)        Rasionalisme
Rasionalisme adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar adalah rasio (akal budi). Tokoh-tokoh terpenting aliran rasionalisme adalah Blaise Pascal, Baruch Spinoza, G.W.Leibnitz, Christian Wolff, dan Rene Descartes (1596-1650).
Rene Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern. Ucapannya yang terkenal adalah Coglto Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Ungkapan ini mempunyai makna lebih dalam dari sekedar pengertian harfiah. Dengan ungkapan itu hendak dinyatakan metode yang dianut Descartes, yakni metode kesangsian. Descartes mengatakan bahwa segalanya harus disangsikan secara radikal, dan tidak boleh diterima begitu saja. Kalau suatu kebenaran tahan terhadap kesangsian (artinya tidak disangsikan lagi), itulah kebenaran yang sesungguhnya dan harus menjadi fondamen bagi ilmu pengetahuan.
Itulah sebabnya Cogito Ergo Sum harus diartikan sebagai: saya yang sedang sangsi, ada. Bagi Descartes, berpikir berarti menyadari. Jika saya menyangsikan, maka saya menyadari sungguh-sungguh bahwa saya menyangsikan. Kebenaran itu pasti sebab saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah (c/ear/y and dis- tinctly).
Menurut Descartes, dalam diri manusia terdapat tiga ide bawaan sejak lahir yang merupakan kebenaran. Ketiga ide bawaan itu adalah pikiran, Allah, dan keluasan.
Mengapa pikiran? Karena kalau saya memahami diri sebagai makluk yang berpikir, maka hakekat saya adalah pemikiran. Mengapa Allah? Kalau saya mempunyai idea "sempurna", harus ada penyebab sempurna idea itu, karena akibat tidak pernah melebihi penyebabnya. Dan mengapa pula keluasan? Karena saya mengerti materi sebagai keluasan (ekstensi).
Satu-satunya alasan untuk menerima dunia materi adalah bahwa Allah akan menipuku jika Ia memberikan idea keluasan padahal tidak ada suatu pun yang mempunyai luas. Tapi, menurut pengamatan, di luarku ada dunia materi. Jadi, Allah itu ada.
Menurut Descartes, manusia terdiri dari jiwa (pemikiran) dan tubuh (keluasan). Tubuh adalah mesin yang dijalankan jiwa. Dengan pandangan seperti ini, Descartes mengakui dualisme dalam manusia.

    2)        Empirisme
Empirisme adalah aliran yang mengajarkan bahwa hanya pengalaman (lewat indra) yang merupakan sumber pengetahuan yang benar. Jadi, empirisme bertolak belakang dengan pandangan rasionalisme. Immanuel Kant kemudian mendamaikan kedua pandangan yang sangat ekstrim tersebut.
Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah Thomas Hobbes dan John Locke, keduanya dari Inggris.

b.      Filsafat Abad XVIII (Aufklaerung)
Aufklaerung berarti pencerahan (enlightment). Dinamakan demikian, karena pada periode ini manusia mencari cahaya baru dalam rasionya. Keadaan periode sebelum ini sering diumpamakan dengan keadaan belum akil baligh, di mana manusia kurang menggunakan kemampuan akal budinya.
Salah satu ciri terpenting zaman Aufklaerung adalah perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Dalam fisika kita kenal ilmuwan besar seperti Isaac Newton. Karena rasio mendapat tempat terhormat dan menjadi pusat perhatian, maka orang mulai meragukan wahyu dan otoritas agama. Mudah dimengerti, mengapa di Prancis muncul sikap antikristianisme dan antiklerikalisme.  Agama kristen sebelum periode ini, memainkan peranan sangat menentukan.
Akal budi tidak diingkari, tetapi diletakkan pada fungsinya sebagai pendukung iman dan wahyu. Penjelasan apapun yang tidak sesuai dengan iman dianggap  tidak benar.
Tempat para klerus dalam lingkungan yang memberi tempat penting  kepada agama memang sangat istimewa. Oleh sebab itu, pada masa pencerahan, orang tak mau tunduk lagi kepada otoritas agama. Mulai berkembang pemikiran-pemikiran bebas. Aufklaerung merintis jalan menuju revolusi Prancis tahun 1789.
Tokoh-tokoh terpenting filsafat masa pencerahan, antara lain George Berkeley dan David Hume (Inggris), Voltaire, Jean-Jacques Rousseau (Prancis), dan Immanuel Kant (Jerman). Filsuf paling penting untuk periode ini adalah Immanuel Kant.
Seperti dikatakan di atas, Kant berusaha mendamaikan pandangan rasionalisme dan empirisme. Menurut Kant, peran rasio dan pengalaman sama pentingnya dalam proses mengetahui. Pengalaman indra dinamakannya unsur aposteriori, sedangkan akal budi dinamakannya unsur apriori. Kant berpendapat bahwa pengetahuan selalu merupakan hasil sintese unsur akal budi dan pengalaman. Akal budi sendiri tidak dapat dipercaya begitu saja, demikian pula pengalaman indra. Kita melihat mentari sebagai sebuah benda langit bercahaya yang kecil, padahal dalam kenyataannya matahari adalah badan angkasa yang sangat besar. Oleh sebab itu, hasil pengamatan indra harus diteguhkan oleh akal budi.

c.       Filsafat Abad XIX
Aliran-aliran besar yang muncul sepanjang abad XIX adalah idealisme Jerman, positivisme, dan materialisme. Berikut diuraikan secara singkat aliran-aliran tersebut serta tokoh-tokohnya.
      1)        Idealisme Jerman
Idealisme adalah aliran yang berpandangan bahwa tidak ada realitas obyektif dari dirinya sendiri. Realitas seluruhnya, menurut aliran ini, bersifat subyektif.Seluruh realitas merupakan hasil aktivitas Subyek Absolut (yang dalam agama dinamakan Allah).
Jadi, menurut idealisme rasio atau roh (idea) mengendalikan realitas seluruhnya. Segala sesuatu merupakan tampakan-tampakan atau momen-momen yang berkembang sendiri. Idealisme pada dasarnya bertentangan dengan Platonisme.
Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah tiga filsuf Jerman, yakni J.G.Fichte (1762- 1814), F.W J.Schelling (1775- 1854), dan G.W.F. Hegel (1770-1831). Filsuf paling penting di antara ketiganya adalah Hegel.

     2)        Positivisme
Aliran ini berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau apa yang nampak. Manusia tidak pernah mengetahui sesuatu di balik fakta-fakta.
Oleh sebab itu, menurut positivisme, tugas ilmu pengetahuan dan filsafat adalah menyelidiki fakta-fakta, bukan menyelidiki sebab-sebab terdalam realitas. Dengan demikian, positivisme menolak metafisika.
Positivisme mempunyai persamaan dan perbedaan dengan empirisme. Persamaan pada keduanya adalah bahwa keduanya mengutamakan pengalaman indra. Akan tetapi positivisme hanya menerima pengalaman obyektif, sedangkan empirisme menerima juga pengalaman batiniah/subyektif.
Tokoh-tokoh terpenting positivism, antara lain Auguste Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer (1820-1903).

     3)        Materialisme
Aliran ini berpandangan bahwa seluruh realitas terdiri dari materi. Artinya, tiap benda atau peristiwa dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses materiil. Materialisme merupakan aliran terpenting dan sangat berpengaruh sepanjang abad XIX. Bahkan sampai dewasa ini, Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap idealisme Jerman.
Tokoh-tokoh yang terpenting adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872), Kari Marx (1818-1883), dan Friedrich Engels (1820-1895).
Pikiran-pikiran Kari Marx sering muncul dalam nama materialisme dialektis dan materialisme historis. Nama-nama itu bukan berasal dari Marx sendiri. Materialisme historis digunakan oleh Engels sesudah kematian Marx. Sedangkan materialisme dialektis digunakan tahun 1891 oleh filsuf Russia, G.Plekhanov.
Materialisme dialektis beranggapan bahwa perubahan kuantitas dapat mengakibatkan perubahan kualitas. Perapatan materi dapat menghasilkan suatu yang sama sekali baru. Dengan cara demikian, kehidupan berasal dari materi mati, dan kesadaran manusia berasal dari kehidupan organis. Materialisme historis berpandangan bahwa arah yang ditempuh sejarah ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi materiil. Menurut Marx, titik akhir sejarah adalah keadaan ekonomi tertentu, yakni komunisme, di mana milik pribadi diganti milik bersama. Baru pada kondisi seperti itulah manusia mencapai kebahagiaannya. Arah ini adalah suatu keharusan, suatu yang mutlak, tak dapat diubah dengan cara apapun. Dan manusia dapat mempercepat proses itu dengan melakukan revolusi.



B.       FILSAFAT BARAT KONTEMPORER
Filsafat Barat kontemporer (abad XX) sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar. Banyak filsuf spesialis bidang khusus seperti matematika, fisika, psikologi, sosiologi, atau ekonomi.
Hal penting yang patut dicatat bahwa pada abad XX pemikiran- pemikiran lama dihidupkan kembali. Misalnya, Neotomisme, Neokantianisme, Neopositivisme, dan sebagainya. Di masa ini Prancis, Inggris, dan Jerman tetap merupakan negara-negara yang paling depan dalam filsafat. Umumnya, orang membagikan filsafat pada periode ini menjadi filsafat kontinental (Prancis dan Jerman) dan filsafat Anglosakson (Inggris).
Aliran-aliran terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad XX adalah pragmatisme, vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis (filsafat bahasa), strukturalisme, dan postmodernisme.

1.      Pragmatisme
Pragmatisme mengajarkan bahwa yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfat secara praktis. Jadi, patokan pragmatisme adalah manfaat bagi kehidupan praktis. Kebenaran mistis diterima, asal bermanfaat praktis. Pengalaman pribadi yang benar adalah pengalaman yang bermanfaat praktis. Aliran ini sangat populer di Amerika Serikat. Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah William James (1842-1910) dan John Dewey (1859-1952).

2.      Vitalisme
Vitalisme berpandangan bahwa kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan ilmu dan teknologi serta industrialisasi, di mana segala sesuatu dapat dianalisa secara matematis. Tokoh terpenting vitalisme adalah filsuf Prancis, Henri Bergson (1859- 1941).

3.      Fenomenologi
Fenomenologi berasal dari kata fenomenon yang berarti gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah aliran yang membicarakan fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak. Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Seorang fenomenolog lainnya adalah Max Scheler (1874-1928).

4.      Eksistensialisme
Eksistensialisme adalah aliran filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi. Eksistensi adalah cara berada di dunia. Cara berada manusia di dunia berbeda dengan cara berada makluk-makluk lain. Benda mati dan hewan tidak menyadari keberadaannya, tapi manusia sadar bahwa dia berada di dunia. Manusia sadar bahwa ia bereksistensi. Itulah sebabnya, segalanya mempunyai arti sejauh berkaitan dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberi arti kepada segalanya. Manusia menentukan perbuatannya sendiri. Ia memahami diri sebagai pribadi yang bereksistensi.
Jadi, eksistensialisme berpandangan bahwa pada manusia eksistensi mendahului esensi (hakekat), sebaliknya pada benda-benda lain esensi mendahului eksistensi. Manusia berada lalu menentukan diri sendiri menurut proyeksinya sendiri. Hidupnya tidak ditentukan lebih dulu. Sebaliknya, benda-benda lain bertindak menurut esensi atau kodrat yang memang tak dapat dielakkan.
Tokoh-tokoh terpenting eksistensialisme adalah Martin Heidegger (1883- 1976), Jean-Paul Sartre (1905-1980), Kari Jaspers (1883-1969), dan Gabriel Marcel (1889-1973). Soren Kierkegaard (1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844- 1900), Nicolas Alexandrovitch Berdyaev (1874-1948), juga sering dimasukkan ke dalam kelompok filsuf-filsuf eksistensialis.
Di antara para filsuf eksistensialis terdapat perbedaan. Sebagian mereka bahkan tidak mau dikelompokkan sebagai filsuf eksistensialis. Akan tetapi, mereka semua mempunyai kesamaan pandangan bahwa filsafat harus bertitik tolak pada manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini, mereka berpendapat bahwa pada manusia eksistensi mendahului esensi (Fuad Hassan, 1985: 7-8). Sebagian filsuf eksistensialis adalah atheis, seperti Jean-Paul Sartre, tetapi ada yang tetap mengakui Allah, seperti Gabriel Marcel.
Jean-Paul Sartre adalah satu-satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada titik yang sangat ekstrim. Dia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama sekali tidak bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan: "Manusia bebas. Manusia adalah kebebasan." Sartre tidak memandang kebebasan sebagai salah satu ciri manusia, tapi menganggap manusia sebagai kebebasan. Ini ada kaitan dengan pandanganaya tentang eksistensi (cara berada). Sartre membedakan dua macam cara berada, yakni etre-en-soi (berada dalam diri sendiri) dan etre-pour-soi (berada untuk diri). Etre-en-soi adalah cara berada yang deterministik. Itu merupakan cara berada benda-benda mati, hewan, dan tumbuhan. Pohon, misalnya, tumbuh sebagai pohon jenis tertentu, dengan bakat tertentu. Sampai kapan dan di manapun pohon itu akan tetap sama, tidak akan meninggalkan kodrat. Batu, dari kodratnya telah ditentukan sebagai benda yang keras, dan sebab itu ia akan tetap seperti itu sampai kapan pun. Jadi, cara berada ini sudah ditentukan kodrat. Sebaliknya, Etre-pour-soi adalah cara berada khas manusia. Artinya, manusia ada dulu baru menentukan diri sendiri. Dirinya tidak pernah ditentukan lebih dulu. Manusia ada begitu saja, dan baru sesudah itu manusia menentukan apa yang harus dilakukannya. Hanya manusia dapat mengatakan "tidak", benda- benda lain selalu berada menurut esensi atau kodrat yang telah ditentukan. Karena tidak ditentukan sebelumnya, maka manusia bertanggung jawab terhadap keberadaannya.
Konsep kebebasan seperti ini membawa Sartre kepada penolakan akan adanya Allah. Menurut Sartre, jika ada Allah maka manusia tidak bebas lagi, sebab Allah sudah menentukan esensi manusia. Pisau yang dibuat tukang, kata Sartre, sudah ada dalam konsep tukang yang membuatnya sebelum pisau itu hadir dalam bentuk tertentu. Dalam pikirannya, tukang sudah memikirkan bahwa pisau itu terbuat dari baja atau besi, tajam, berujung runcing, diberi gagang tanduk rusa, digunakan untuk memotong daging atau mencukur rambut, dan ciri-ciri lainnya. Itulah esensi pisau yang sudah ada di kepala tukang sebelum pisau itu betul-betul hadir dalam wujudnya yang tertentu.
Kalau ada Allah, kata Sartre, maka Allah pasti sudah mengetahui esensi manusia. Itu berarti, manusia tidak bebas lagi. Manusia akan melakukan apa yang sudah ditentukan Allah. Tapi itu tidak mungkin, sebab pada manusia eksistensi mendahului esensi, sebab itu tidak ada Allah.
Menurut Sartre, manusia tidak mempunyai kodrat. Ia ada begitu saja, baru sesudahnya ia membuat kodratnya sendiri karena memang tidak ada Allah yang mengkonsepkan kodrat itu.
Manusia tidak mempunyai kewajiban terhadap sesuatu yang lain, kecuali dirinya sendiri. Seandainya Allah ada, manusia kehilangan martabat manusianya. Maka mustahil bahwa Allah dan manusia ada berdampingan. Manusia yang hanya merupakan alat di tangan Allah, kata Sartre, bukan manusia bebas.
Dalam bukunya Existentialism and Humanism, Sartre memberikan tanggapan kepada orang-orang yang mengatakan bahwa eksistensialisme adalah atheisme. Sartre mengatakan bahwa eksistensialisme sama sekali bukan atheisme yang menolak adanya Allah. Seandainya Allah ada, itu sama sekali tidak bakal mengubah apa-apa, kata Sartre.

5.       Filsafat Analitis
Aliran ini muncul di Inggris dan Amerika Serikat sejak sekitar tahun 1950. Filsafat analitis disebut juga filsafat bahasa. Filsafat ini merupakan reaksi terhadap idealisme, khususnya Neohegelianisme di lnggris. Para penganutnya menyibukkan diri dengan analisa bahasa dan konsep-konsep. Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein (1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.

6.      Strukturalisme
Strukturalisme muncul di Prancis tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan sosiologi. Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Maka kaum strukturalis menyibukkan diri dengan menyelidiki struktur-struktur tersebut. Tokoh-tokoh terpenting strukturalisme adalah Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel Foucoult.

7.      Postmodernisme
Aliran ini muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan segala dampaknya. Seperti diketahui, modernisme dimulai oleh Rene Descartes, dikokohkan oleh zaman pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian mengabadikan diri melalui dominasi sains dan kapitalisme. Tokoh yang dianggap memperkenalkan istilah postmodern (isme) adalah Francois Lyotard, lewat bukunya The Postmodern Condition: A Report on Knowledge (1984).
Modernisme mempunyai gambaran dunia sendiri yang ternyata melahirkan berbagai dampak buruk, yaitu:
a.   Obyektifikasi alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena yang mengakibatkan krisis ekologi. Dampak ini disebabkan oleh pandangan dualistiknya yang membagi kenyataan menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia, dsb.
b.  Manusia cenderung menjadi obyek karena pandangan modern yang obyektivistis dan positivistis.
c.      Ilmu-ilmu positif-empiris menjadi standar kebenaran tertinggi.
d.      Materialisme.
e.      Militerisme.
f.       Kebangkitan kembali tribalisme (mentalitas yang mengunggulkan kelompok sendiri.
Istilah postmodern di luar bidang filsafat muncul lebih dulu. Rudolf Pannwitz, dalam bukunya tentang krisis kebudayaan Eropa tahun 1947 menggunakan istilah manusia postmodern yang ciri-cirinya sehat, kuat, nasionalistis, religius, yang muncul dari nihilisme dan dekadensi nihilisme Eropa. Ia merupakan cermin kemenangan atas kekacauan yang menjadi ciri khas modernitas.
Dalam perspektif filosofis istilah postmodern baru digunakan tahun 1979, dan bukan didorong oleh postmodern di Eropa yang berlatar belakang arsitektur, melainkan dirangsang oleh diskusi tentang problem sosiologis masyarakat postindustri di Amerika Utara. Dalam konteks ini Jean-Francois Lyotard membuat laporan untuk Dewan Universitas Quebec tentang perubahan-perubahan di bidang pengetahuan pada masyarakat industri maju karena kemajuan teknologi informasi baru. Laporan itu terbit dalam bukunya yang disebut di atas tahun 1979. Laporan inilah yang menjadi titik tolak diskusi-diskusi filosofis tentang postmodernisme (Jurnal Filsafat, 1990: 9-10).
Ciri-ciri terpenting postmodernisme adalah (1) relativisme, dan (2) mengakui pluralitas. Pada modernisme, pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang didasarkan pada cerita-cerita besar (grand narratives) yang menjadi ide penuntun sampai ke penelitian-penelitian paling mendetail. Tapi postmodernisme merelatifkan semuanya. Menurut para postmodernis, tidak ada suatu norma yang berlaku umum. Tiap bagian mempunyai keunikan sehingga tak dapat menerima pemaksaan ke arah penyeragaman. Dengan demikian, postmodernisme mengakui pluralitas dan hak hidup individu atau unsur lokal (Sugiharto: 1996, 30-33).
Tokoh-tokoh postmodernisme terpenting selain Lyotard adalah Jacques Derrida, Richard Rorty, dan Michel Foucoult.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar