A. PERKEMBANGAN FILSAFAT
MODEREN
Filsafat klasik bersifat
kosmosentris, filsafat abad pertengahan bersifat teosentris, sedangkan filsafat
modern bersifat antroposentris. Di zaman Yunani klasik, pusat perhatian
filsafat adalah pertanyaan “apa yang
merupakan unsur pertama dari kosmos?”. Pada abad pertengahan, Allah
diakui sebagai pencipta alam semesta. Sedangkan pada zaman modern, yang menjadi
pusat pergulatan filosofis adalah manusia itu sendiri.
Kata ini berasal dari bahasa Prancis dan berarti
kelahiran kembali. Maksudnya, usaha untuk menghidupkan kembali kebudayaan
Yunani dan Romawi klasik. Dalam sastra lahirlah humanisme, yang juga
mencari inspirasinya pada sastra Yunani dan Romawi. Renaissance ditandai oleh
kelahiran kembali di berbagai ilmu, seperti ilmu sastra, kesenian, filsafat,
dan ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan alam berkembang pesat berdasarkan metode
eksperimental.
Nicolaus Copernicus, Johannes Kepler, dan
Galileo Galilei adalah contoh ilmuwan yang membawakan wawasan baru dengan
penemuan-penemuan yang penting. Copernicus berdasarkan penyelidikannya, mengemukakan bahwa pandangan geosentris
yang dianggap benar selama berabad-abad sebelumnya ternyata salah. Menurut
Copernicus, bukan bumi yang menjadi pusat, melainkan matahari adalah pusat
jagad raya. Galileo Galilei kemudian memperkuat teori Copernicus tentang heliosentrisme.
Di bidang filsafat, peletak dasar filsafat zaman
renaissance adalah Francis Bacon (1561-1623), seorang filsuf dari Inggris.
Tiga aliran
besar filsafat yang muncul dan berkembang pada abad XVII adalah rasionalisme,
empirisme, dan idealisme. Berikut dibicarakan tentang ketiga aliran tersebut.
1)
Rasionalisme
Rasionalisme
adalah paham yang mengajarkan bahwa sumber pengetahuan satu-satunya yang benar
adalah rasio (akal budi). Tokoh-tokoh terpenting aliran rasionalisme adalah
Blaise Pascal, Baruch Spinoza, G.W.Leibnitz, Christian Wolff, dan Rene
Descartes (1596-1650).
Rene
Descartes dijuluki Bapak Filsafat Modern. Ucapannya yang terkenal adalah Coglto
Ergo Sum (Aku berpikir maka aku ada). Ungkapan ini mempunyai makna lebih dalam
dari sekedar pengertian harfiah. Dengan ungkapan itu hendak dinyatakan metode
yang dianut Descartes, yakni
metode kesangsian. Descartes mengatakan bahwa segalanya harus disangsikan
secara radikal, dan tidak boleh diterima begitu saja. Kalau suatu kebenaran
tahan terhadap kesangsian (artinya tidak disangsikan lagi), itulah kebenaran
yang sesungguhnya dan harus menjadi fondamen bagi ilmu pengetahuan.
Itulah
sebabnya Cogito Ergo Sum harus diartikan sebagai: saya yang sedang sangsi, ada.
Bagi Descartes, berpikir berarti menyadari. Jika saya menyangsikan, maka saya
menyadari sungguh-sungguh bahwa saya menyangsikan. Kebenaran itu pasti sebab
saya mengerti dengan jelas dan terpilah-pilah (c/ear/y and dis- tinctly).
Menurut
Descartes, dalam diri manusia terdapat tiga ide bawaan sejak lahir yang merupakan kebenaran. Ketiga ide bawaan itu adalah pikiran, Allah, dan
keluasan.
Mengapa
pikiran? Karena kalau saya memahami diri sebagai makluk yang berpikir, maka
hakekat saya adalah pemikiran. Mengapa Allah? Kalau saya mempunyai idea
"sempurna", harus ada penyebab sempurna idea itu, karena akibat tidak
pernah melebihi penyebabnya. Dan mengapa pula keluasan? Karena saya mengerti materi sebagai keluasan
(ekstensi).
Satu-satunya
alasan untuk menerima dunia materi adalah bahwa Allah akan menipuku jika Ia
memberikan idea keluasan padahal tidak ada suatu pun yang mempunyai luas. Tapi,
menurut pengamatan, di luarku ada dunia materi. Jadi, Allah itu ada.
Menurut
Descartes, manusia terdiri dari jiwa (pemikiran) dan tubuh (keluasan). Tubuh
adalah mesin yang dijalankan jiwa. Dengan pandangan seperti ini, Descartes
mengakui dualisme dalam manusia.
2)
Empirisme
Empirisme
adalah aliran yang mengajarkan bahwa hanya pengalaman (lewat indra) yang merupakan sumber pengetahuan yang benar. Jadi, empirisme bertolak belakang
dengan pandangan rasionalisme. Immanuel Kant kemudian mendamaikan kedua
pandangan yang sangat ekstrim tersebut.
Tokoh-tokohnya
yang terpenting adalah Thomas Hobbes dan John Locke, keduanya dari Inggris.
Aufklaerung berarti pencerahan
(enlightment). Dinamakan demikian, karena pada periode ini manusia mencari cahaya baru dalam rasionya.
Keadaan periode sebelum ini sering diumpamakan dengan keadaan belum akil baligh, di mana manusia kurang menggunakan kemampuan akal budinya.
Salah satu ciri terpenting
zaman Aufklaerung adalah perkembangan pesat ilmu pengetahuan. Dalam fisika kita
kenal ilmuwan besar seperti Isaac Newton. Karena rasio mendapat tempat terhormat dan menjadi pusat perhatian, maka
orang mulai meragukan wahyu dan otoritas agama. Mudah dimengerti, mengapa di
Prancis muncul sikap antikristianisme dan antiklerikalisme. Agama kristen sebelum periode ini, memainkan peranan sangat menentukan.
Akal budi tidak diingkari,
tetapi diletakkan pada fungsinya sebagai pendukung iman dan wahyu. Penjelasan apapun yang tidak sesuai dengan iman
dianggap tidak benar.
Tempat para klerus dalam
lingkungan yang memberi tempat penting kepada agama memang sangat
istimewa. Oleh sebab itu, pada masa pencerahan, orang tak mau tunduk lagi
kepada otoritas agama. Mulai berkembang pemikiran-pemikiran bebas. Aufklaerung merintis jalan menuju revolusi Prancis tahun
1789.
Tokoh-tokoh terpenting
filsafat masa pencerahan, antara lain
George Berkeley dan David Hume (Inggris), Voltaire, Jean-Jacques Rousseau (Prancis), dan Immanuel Kant (Jerman). Filsuf paling
penting untuk periode ini adalah Immanuel Kant.
Seperti dikatakan di atas,
Kant berusaha mendamaikan pandangan rasionalisme dan empirisme. Menurut Kant,
peran rasio dan pengalaman sama pentingnya dalam proses mengetahui. Pengalaman
indra dinamakannya unsur aposteriori, sedangkan akal budi dinamakannya unsur
apriori. Kant berpendapat bahwa pengetahuan selalu merupakan hasil sintese
unsur akal budi dan pengalaman. Akal budi sendiri tidak dapat dipercaya begitu
saja, demikian pula pengalaman indra. Kita melihat mentari sebagai sebuah benda langit bercahaya yang kecil,
padahal dalam kenyataannya matahari adalah badan angkasa yang sangat besar.
Oleh sebab itu, hasil pengamatan indra harus
diteguhkan oleh akal budi.
Aliran-aliran besar yang
muncul sepanjang abad XIX adalah idealisme Jerman, positivisme, dan
materialisme. Berikut diuraikan secara singkat aliran-aliran tersebut serta tokoh-tokohnya.
1)
Idealisme
Jerman
Idealisme
adalah aliran yang berpandangan bahwa tidak ada realitas obyektif dari dirinya
sendiri. Realitas seluruhnya, menurut aliran ini, bersifat subyektif.Seluruh
realitas merupakan hasil aktivitas Subyek Absolut (yang dalam agama dinamakan
Allah).
Jadi,
menurut idealisme rasio atau roh (idea) mengendalikan realitas seluruhnya.
Segala sesuatu merupakan tampakan-tampakan atau momen-momen yang berkembang
sendiri. Idealisme pada dasarnya bertentangan dengan Platonisme.
Tokoh-tokohnya
yang terpenting adalah tiga filsuf Jerman, yakni J.G.Fichte (1762- 1814), F.W J.Schelling (1775- 1854), dan G.W.F.
Hegel (1770-1831). Filsuf paling penting di antara ketiganya adalah Hegel.
2)
Positivisme
Aliran ini
berpandangan bahwa manusia tidak pernah mengetahui lebih dari fakta-fakta, atau
apa yang nampak. Manusia tidak pernah mengetahui sesuatu di balik fakta-fakta.
Oleh sebab
itu, menurut positivisme, tugas ilmu pengetahuan dan filsafat adalah menyelidiki
fakta-fakta, bukan menyelidiki sebab-sebab terdalam realitas. Dengan demikian,
positivisme menolak metafisika.
Positivisme
mempunyai persamaan dan perbedaan dengan empirisme. Persamaan pada keduanya adalah bahwa keduanya mengutamakan pengalaman
indra. Akan tetapi positivisme hanya menerima pengalaman obyektif, sedangkan
empirisme menerima juga pengalaman batiniah/subyektif.
Tokoh-tokoh
terpenting positivism, antara lain
Auguste Comte (1798-1857), John Stuart Mill (1806-1873), dan Herbert Spencer
(1820-1903).
3)
Materialisme
Aliran ini
berpandangan bahwa seluruh realitas terdiri dari materi. Artinya, tiap benda
atau peristiwa dapat dijabarkan kepada materi atau salah satu proses materiil.
Materialisme merupakan aliran terpenting dan sangat berpengaruh sepanjang abad
XIX. Bahkan sampai dewasa ini, Aliran ini
muncul sebagai reaksi terhadap idealisme Jerman.
Tokoh-tokoh
yang terpenting adalah Ludwig Feuerbach (1804-1872), Kari Marx (1818-1883), dan
Friedrich Engels (1820-1895).
Pikiran-pikiran
Kari Marx sering muncul dalam nama materialisme dialektis dan materialisme
historis. Nama-nama itu bukan berasal dari Marx sendiri. Materialisme
historis digunakan oleh Engels sesudah kematian Marx. Sedangkan materialisme
dialektis digunakan tahun 1891 oleh filsuf Russia, G.Plekhanov.
Materialisme
dialektis beranggapan bahwa perubahan kuantitas dapat mengakibatkan perubahan
kualitas. Perapatan materi dapat menghasilkan suatu yang sama sekali baru.
Dengan cara demikian, kehidupan berasal dari materi mati, dan kesadaran manusia
berasal dari kehidupan organis. Materialisme historis berpandangan bahwa arah
yang ditempuh sejarah ditentukan oleh perkembangan sarana-sarana produksi materiil.
Menurut Marx, titik akhir sejarah adalah
keadaan ekonomi tertentu, yakni komunisme, di mana milik pribadi diganti milik
bersama. Baru pada kondisi seperti itulah manusia mencapai kebahagiaannya. Arah
ini adalah suatu keharusan, suatu yang mutlak, tak dapat diubah dengan cara
apapun. Dan manusia dapat mempercepat proses itu dengan melakukan revolusi.
B. FILSAFAT
BARAT KONTEMPORER
Filsafat
Barat kontemporer (abad XX) sangat heterogen. Hal ini disebabkan karena profesionalisme yang semakin besar. Banyak filsuf spesialis bidang khusus seperti matematika, fisika, psikologi, sosiologi,
atau ekonomi.
Hal penting
yang patut dicatat bahwa pada abad XX pemikiran- pemikiran lama dihidupkan
kembali. Misalnya, Neotomisme, Neokantianisme, Neopositivisme, dan sebagainya.
Di masa ini Prancis, Inggris, dan Jerman tetap merupakan negara-negara yang
paling depan dalam filsafat. Umumnya, orang membagikan filsafat pada periode
ini menjadi filsafat kontinental (Prancis dan Jerman) dan filsafat Anglosakson
(Inggris).
Aliran-aliran
terpenting yang berkembang dan berpengaruh pada abad XX adalah pragmatisme,
vitalisme, fenomenologi, eksistensialisme, filsafat analitis (filsafat bahasa),
strukturalisme, dan postmodernisme.
Pragmatisme mengajarkan bahwa
yang benar adalah apa yang akibat-akibatnya bermanfat secara praktis. Jadi,
patokan pragmatisme adalah manfaat bagi kehidupan praktis. Kebenaran mistis
diterima, asal bermanfaat praktis. Pengalaman pribadi yang benar adalah
pengalaman yang bermanfaat praktis. Aliran ini sangat populer di Amerika
Serikat. Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah William James (1842-1910) dan
John Dewey (1859-1952).
Vitalisme berpandangan bahwa
kegiatan organisme hidup digerakkan oleh daya atau prinsip vital yang berbeda
dengan daya-daya fisik. Aliran ini timbul sebagai reaksi terhadap perkembangan
ilmu dan teknologi serta industrialisasi, di mana segala sesuatu dapat
dianalisa secara matematis. Tokoh terpenting vitalisme adalah filsuf Prancis,
Henri Bergson (1859- 1941).
Fenomenologi berasal dari kata
fenomenon yang berarti gejala atau apa yang tampak. Jadi, fenomenologi adalah
aliran yang membicarakan fenomena atau segalanya sejauh mereka tampak.
Fenomenologi dirintis oleh Edmund Husserl (1859-1938). Seorang fenomenolog lainnya adalah Max Scheler (1874-1928).
Eksistensialisme adalah aliran
filsafat yang memandang segala gejala dengan berpangkal pada eksistensi.
Eksistensi adalah cara berada di dunia. Cara berada manusia di dunia berbeda
dengan cara berada makluk-makluk lain. Benda mati dan hewan tidak menyadari
keberadaannya, tapi manusia sadar bahwa dia berada di dunia. Manusia sadar
bahwa ia bereksistensi. Itulah sebabnya, segalanya mempunyai arti sejauh
berkaitan dengan manusia. Dengan kata lain, manusia memberi arti kepada
segalanya. Manusia menentukan perbuatannya sendiri. Ia memahami diri sebagai pribadi yang bereksistensi.
Jadi, eksistensialisme
berpandangan bahwa pada manusia eksistensi mendahului esensi (hakekat),
sebaliknya pada benda-benda lain esensi mendahului eksistensi. Manusia berada
lalu menentukan diri sendiri menurut proyeksinya sendiri. Hidupnya tidak
ditentukan lebih dulu. Sebaliknya, benda-benda lain bertindak menurut esensi
atau kodrat yang memang tak dapat dielakkan.
Tokoh-tokoh terpenting
eksistensialisme adalah Martin Heidegger (1883- 1976), Jean-Paul Sartre (1905-1980),
Kari Jaspers (1883-1969), dan Gabriel Marcel (1889-1973). Soren Kierkegaard
(1813-1855), Friedrich Nietzsche (1844- 1900), Nicolas Alexandrovitch Berdyaev
(1874-1948), juga sering dimasukkan ke
dalam kelompok filsuf-filsuf eksistensialis.
Di antara para filsuf
eksistensialis terdapat perbedaan. Sebagian mereka bahkan tidak mau
dikelompokkan sebagai filsuf eksistensialis. Akan tetapi, mereka semua mempunyai kesamaan pandangan bahwa filsafat harus bertitik
tolak pada manusia konkret, manusia yang bereksistensi. Dalam kaitan dengan ini, mereka berpendapat bahwa pada manusia eksistensi mendahului esensi (Fuad
Hassan, 1985: 7-8). Sebagian filsuf eksistensialis adalah atheis, seperti Jean-Paul Sartre, tetapi ada yang tetap mengakui Allah,
seperti Gabriel Marcel.
Jean-Paul Sartre adalah
satu-satunya filsuf kontemporer yang menempatkan kebebasan pada titik yang
sangat ekstrim. Dia berpendapat bahwa manusia itu bebas atau sama sekali tidak
bebas. Tentang kebebasan, Sartre mengatakan: "Manusia bebas. Manusia
adalah kebebasan." Sartre tidak memandang kebebasan sebagai salah satu ciri manusia, tapi
menganggap manusia sebagai kebebasan. Ini ada kaitan dengan pandanganaya
tentang eksistensi (cara berada). Sartre membedakan dua macam cara berada, yakni etre-en-soi (berada dalam diri
sendiri) dan etre-pour-soi (berada untuk diri). Etre-en-soi adalah cara berada
yang deterministik. Itu merupakan cara berada benda-benda mati, hewan, dan
tumbuhan. Pohon, misalnya, tumbuh sebagai pohon jenis tertentu, dengan bakat tertentu.
Sampai kapan dan di manapun pohon itu akan tetap sama, tidak akan meninggalkan
kodrat. Batu, dari kodratnya telah ditentukan sebagai benda yang keras, dan
sebab itu ia akan tetap seperti itu sampai kapan pun. Jadi, cara berada ini sudah ditentukan kodrat. Sebaliknya,
Etre-pour-soi adalah cara berada khas manusia. Artinya, manusia ada dulu baru
menentukan diri sendiri. Dirinya tidak pernah ditentukan lebih dulu. Manusia
ada begitu saja, dan baru sesudah itu manusia menentukan apa yang harus dilakukannya.
Hanya manusia dapat mengatakan "tidak", benda- benda lain selalu
berada menurut esensi atau kodrat yang telah ditentukan. Karena tidak
ditentukan sebelumnya, maka manusia bertanggung jawab terhadap keberadaannya.
Konsep kebebasan seperti ini
membawa Sartre kepada penolakan akan adanya Allah. Menurut Sartre, jika ada
Allah maka manusia tidak bebas lagi, sebab Allah sudah menentukan esensi
manusia. Pisau yang dibuat tukang, kata Sartre, sudah ada dalam konsep tukang
yang membuatnya sebelum pisau itu hadir dalam bentuk tertentu. Dalam
pikirannya, tukang sudah memikirkan bahwa pisau itu terbuat dari baja atau
besi, tajam, berujung runcing, diberi gagang tanduk rusa, digunakan untuk
memotong daging atau mencukur rambut, dan ciri-ciri lainnya. Itulah esensi
pisau yang sudah ada di kepala tukang sebelum pisau itu betul-betul hadir dalam
wujudnya yang tertentu.
Kalau ada Allah, kata Sartre,
maka Allah pasti sudah mengetahui esensi manusia. Itu berarti, manusia tidak
bebas lagi. Manusia akan melakukan apa yang sudah ditentukan Allah. Tapi itu
tidak mungkin, sebab pada manusia eksistensi
mendahului esensi, sebab itu
tidak ada Allah.
Menurut Sartre, manusia tidak
mempunyai kodrat. Ia ada begitu saja, baru sesudahnya ia membuat kodratnya
sendiri karena memang tidak ada Allah yang mengkonsepkan kodrat itu.
Manusia tidak mempunyai
kewajiban terhadap sesuatu yang
lain, kecuali dirinya sendiri. Seandainya Allah ada, manusia kehilangan
martabat manusianya. Maka mustahil bahwa Allah dan manusia ada berdampingan.
Manusia yang hanya merupakan alat di tangan Allah, kata Sartre, bukan manusia
bebas.
Dalam bukunya Existentialism
and Humanism, Sartre memberikan tanggapan
kepada orang-orang yang mengatakan bahwa eksistensialisme adalah atheisme. Sartre mengatakan bahwa eksistensialisme sama sekali bukan atheisme yang menolak adanya Allah. Seandainya Allah ada, itu sama sekali tidak bakal mengubah apa-apa, kata Sartre.
Aliran ini
muncul di Inggris dan Amerika Serikat sejak sekitar tahun 1950. Filsafat
analitis disebut juga filsafat bahasa. Filsafat ini merupakan reaksi terhadap
idealisme, khususnya Neohegelianisme di lnggris. Para penganutnya menyibukkan diri dengan analisa bahasa dan konsep-konsep. Tokoh-tokohnya yang terpenting adalah Bertrand Russel, Ludwig Wittgenstein
(1889-1951), Gilbert Ryle, dan John Langshaw Austin.
Strukturalisme
muncul di Prancis tahun 1960, dan dikenal pula dalam linguistik, psikiatri, dan
sosiologi. Strukturalisme pada dasarnya menegaskan bahwa masyarakat dan
kebudayaan memiliki struktur yang sama dan tetap. Maka kaum strukturalis
menyibukkan diri dengan menyelidiki struktur-struktur tersebut. Tokoh-tokoh
terpenting strukturalisme adalah Levi Strauss, Jacques Lacan, dan Michel
Foucoult.
Aliran ini
muncul sebagai reaksi terhadap modernisme dengan segala dampaknya. Seperti
diketahui, modernisme dimulai oleh Rene Descartes, dikokohkan oleh zaman
pencerahan (Aufklaerung), dan kemudian mengabadikan diri melalui dominasi sains
dan kapitalisme. Tokoh yang dianggap memperkenalkan istilah postmodern (isme)
adalah Francois Lyotard, lewat bukunya The Postmodern Condition: A Report on
Knowledge (1984).
Modernisme
mempunyai gambaran dunia sendiri yang ternyata melahirkan berbagai dampak
buruk, yaitu:
a. Obyektifikasi
alam secara berlebihan dan pengurasan alam semena-mena yang mengakibatkan
krisis ekologi. Dampak ini disebabkan oleh pandangan dualistiknya yang membagi
kenyataan menjadi subyek-obyek, spiritual-material, manusia-dunia, dsb.
b. Manusia
cenderung menjadi obyek karena pandangan modern yang obyektivistis dan
positivistis.
c. Ilmu-ilmu
positif-empiris menjadi standar kebenaran tertinggi.
d.
Materialisme.
e.
Militerisme.
f.
Kebangkitan
kembali tribalisme (mentalitas yang mengunggulkan kelompok sendiri.
Istilah
postmodern di luar bidang filsafat muncul lebih dulu. Rudolf Pannwitz, dalam
bukunya tentang krisis kebudayaan Eropa tahun 1947 menggunakan istilah manusia
postmodern yang ciri-cirinya sehat, kuat, nasionalistis, religius, yang muncul
dari nihilisme dan dekadensi nihilisme Eropa. Ia merupakan cermin kemenangan
atas kekacauan yang menjadi ciri khas modernitas.
Dalam
perspektif filosofis istilah postmodern baru digunakan tahun 1979, dan bukan
didorong oleh postmodern di Eropa yang berlatar belakang arsitektur, melainkan dirangsang oleh diskusi tentang problem
sosiologis masyarakat postindustri di Amerika Utara. Dalam konteks ini
Jean-Francois Lyotard membuat laporan untuk Dewan Universitas Quebec tentang
perubahan-perubahan di bidang pengetahuan pada masyarakat industri maju karena
kemajuan teknologi informasi baru. Laporan itu terbit dalam
bukunya yang disebut di atas tahun 1979. Laporan inilah yang menjadi titik
tolak diskusi-diskusi filosofis tentang postmodernisme (Jurnal Filsafat, 1990:
9-10).
Ciri-ciri
terpenting postmodernisme adalah (1) relativisme, dan (2) mengakui pluralitas.
Pada modernisme, pengetahuan merupakan suatu kesatuan yang didasarkan pada
cerita-cerita besar (grand narratives) yang menjadi ide penuntun sampai ke
penelitian-penelitian paling mendetail. Tapi postmodernisme merelatifkan semuanya. Menurut para postmodernis,
tidak ada suatu norma yang berlaku umum. Tiap bagian mempunyai keunikan
sehingga tak dapat menerima pemaksaan ke arah penyeragaman. Dengan demikian,
postmodernisme mengakui pluralitas dan hak hidup individu atau unsur lokal
(Sugiharto: 1996, 30-33).
Tokoh-tokoh
postmodernisme terpenting selain Lyotard adalah Jacques Derrida, Richard Rorty, dan Michel Foucoult.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar