Sabtu, 24 Oktober 2015

PARADIGMA POSITIVISME


Dalam paradigma ilmu, ilmuwan telah mengembangkan sejumlah perangkat keyakinan dasar yang mereka gunakan dalam mengungkapkan hakikat ilmu yang sebenarnya dan bagaimana cara untuk mendapatkannya. Tradisi pengungkapan ilmu ini telah ada sejak adanya manusia, namun secara sistematis dimulai sejak abad ke-17, ketika Descartes (1596-1650) dan para penerusnya mengembangkan cara pandang positivisme, yang memperoleh sukses besar sebagaimana terlihat pengaruhnya dalam pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dewasa ini. Paradigma ilmu pada dasarnya berisi jawaban atas pertanyaan fundamental proses keilmuan manusia, yakni bagaimana, apa, dan untuk apa. Tiga pertanyaan dasar itu kemudian dirumuskan menjadi beberapa dimensi, yaitu:
a. Dimensi ontologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat dari sesuatu yang dapat diketahui (knowable), atau apa sebenarnya hakikat dari suatu realitas (reality). Dengan demikian dimensi yang dipertanyakan adalah hal yang nyata (what is nature of reality?).
b.    Dimensi epistemologis, pertanyaan yang harus dijawab oleh seorang ilmuwan adalah: Apa sebenarnya hakikat hubungan antara pencari ilmu (inquirer) dan objek yang ditemukan (know atau knowable)?
c.  Dimensi axiologis, yang dipermasalahkan adalah peran nilai-nilai dalam suatu kegiatan penelitian.
d.   Dimensi retorik yang dipermasalahkan adalah bahasa yang digunakan dalam penelitian.
e.    Dimensi metodologis, seorang ilmuwan harus menjawab pertanyaan: Bagaimana cara atau metodologi yang dipakai seseorang dalam menemukan kebenaran suatu ilmu pengetahuan?
Jawaban terhadap kelima dimensi pertanyaan ini, akan menemukan posisi paradigma ilmu untuk menentukan paradigma apa yang akan dikembangkan seseorang dalam kegiatan keilmuan.



A.   Pengertian Positivisme
Positivisme merupakan paradigma ilmu pengetahuan yang paling awal muncul dalam dunia ilmu pengetahuan. Keyakinan dasar aliran ini berakar dari paham ontologi realisme yang menyatakan bahwa realitas ada (exist) dalam kenyataan yang berjalan sesuai dengan hukum alam (natural laws). Dengan kata lain, Positivisme merupakan suatu aliran filsafat yang menolak aktifitas yang berkenaan dengan metafisik, semua didasarkan pada data empiris. Upaya penelitian, dalam hal ini adalah untuk mengungkapkan kebenaran realitas yang ada, dan bagaimana realitas tersebut senyatanya berjalan.
Positivisme muncul pada abad ke-19 dimotori oleh sosiolog Auguste Comte, dengan buah karyanya yang terdiri dari enam jilid dengan judul The Course of Positive Philosophy (1830-1842).
Dalam perkembangannya ada tiga positivisme, yaitu positivisme sosial, positivisme evolusioner, dan positivisme kritis.

a.      Positivisme sosial
Positivisme sosial merupakan penjabaran lebih jauh dari kebutuhan masyarakat dan sejarah. August Comte dan John Stuart Mill merupakan tokoh utama positivisme ini. Sedangkan para perintisnya adalah Saint Simon dan penulis-penulis sosialistik dan utilitarian yang karya-karyanya juga dekat tokoh besar dalam ekonomi, yaitu Thomas Maltrus dan David Ricardo.

·      Filsafat posivitistik Auguste Comte
Filsafat positivistik Comte tampil dalam studinya tentang sejarah perkembangan alam pikir manusia, matematika bukan ilmu namun merupakan alat berpikir logik. Comte terkenal dengan penjenjangan sejarah perkembangan alam fikir manusia, yaitu teologik, metafisik, dan positif. Pada jenjang teologik, manusia memandang bahwa segala sesuatu itu hidup dengan kemauan dan kehidupan seperti dirinya, jenjang ini dibagi menjadi tiga tahap, yaitu tahap animisme atau fetishisme,  yang  memandang  bahwa  pada  setiap  benda  itu  memiliki  kemauannya  sendiri. Kedua tahap polytheisme yang memandang sejumlah dewa menampilkan kemauannya pada sejumlah obyek dan ketiga, tahap monotheisme yang memandang bahwa ada satu Tuhan yang menampilkan kemauannya pada beragam obyek. Pada jenjang alam berfikir metaphisik abstraksi kemauan pribadi berubah menjadi abstraksi tentang sebab dan kekuatan alam semesta. Pada jenjang positif, alam berfikir mengadakan pencarian pada ilmu absolut, mencari kemauan terakhir atau sebab utama, ilmu yang pertama menurut Comte adalah astronomi, lalu fisika, kimia dan akhirnya biologi.

·      Metodologi A. Comte
Alat penelitian pertama menurut Comte adalah observasi, tindak  mengamati sekaligus menghubungkan  dengan  sesuatu  hukum  yang  hipothetik  diperbolehkan  oleh  Comte.  Itu merupakan  kreasi  simultan  observasi  dengan  hukum  dan  merupakan  lingkaran  yang  tak berujung.  Eksperimentasi  menjadi  metode  yang  kedua  menurut  Comte  yaitu  suatu  proses reguler phenomena dapat diintervensi dengan sesuatu yang lain. Komparasi dipakai untuk hal-hal yang lebih kompleks seperti biologi dan sosiologi.

·      Sosiologi A. Comte
A. Comte pertama  kali  menggunakan  istilah  sosiologi  untuk  menggantikan  istilah phisique  sociale  dari  Quetelet.  Ia  membedakan  antara  social  statics  dan  social  dynamic. Pembedaan itu hanya untuk tujuan analisis, keduanya menganalisa fakta sosial yang sama, hanya dengan tujuan yang berbeda. Yang pertama menelaah fungsi jenjang-jenjang peradaban, yang kedua menelaah perubahan-perubahan jenjang tersebut.

·      Bentham dan Mill
Tokoh semasa dengan Comte yang juga memberi landasan positivisme adalah Jeremy Bentham dan James Mill, menurut keduanya ilmu yang valid adalah ilmu yang dilandaskan pada fakta. Ethik tradisional yang dilandaskan pada moral diganti dengan ethik pada motif perilaku pada kepatuhan manusia pada aturan. Mill menolak absolut dari agama. Mill berpendapat bahwa kebebasan manusia itu bagaikan a secrad fortress (benteng suci) yang aman dari penyusupan otoritas apapun, wawasan yang menjadi marak pada akhir abad 20-an ini.

b.      Positivisme Evolusioner
Hal ini berangkat dari fisika dan biologi dan digunakan doktrin evolusi biologik.

·        Herbert Spencer
Dalam konsep Herbert Spencer, evolusi merupakan proses dari  sederhana  ke  kompleks,  pengetahuan  manusia  menurut  dia  terbatas  pada  kawasan phenomena.  Agama  yang  otentik  mengungkap  kawasan  yang  penuh  misteri,  yang  tak diketahui, yang tak terbatas, hal mana yang phenomena tunduk kepada misteri.

·           Haeckel dan Monisme
Agama sering melihat materi dan ruh sebagai dua yang dualisme, Hackel berpendapat bahwa hal dan kesadaran itu menampilkan sifat yang berbeda, tetapi mengenai substansi yang satu, monistik.  Berbeda  dengan  Lambrosso  yang  berpendapat  bahwa  perilaku  criminal  bersifat positivistic  biologic  deterministic.  Wilhelm  Wundt  penganut  positivism  evolusioner menampilkan teori paralelisme psikhophisik, menentang monism materialistic Lombrosso.

c.       Positivisme Kritis
Pada akhir abad XIX positivisme menampilkan bentuk lebih kritis dalam karya-karya Ernst Mach dan Richard Avenarius dan lebih dikenal sebagai empiriocritisisme. Fakta menjadi satusatunya jenis unsur untuk membangun realitas.

Tempat utama dalam positivisme pertama diberikan pada Sosiologi, walaupun diberikan juga pada  teori  pengetahuan  yang  diungkapkan  oleh  Comte  dan  tentang  Logika  yang dikemukakan oleh Mill. Tokoh-tokohnya Auguste Comte, E. Littre, P. Laffitte, JS. Mill dan Spencer.
Dalam  perkembangannya,  positivisme  mengalami  perombakan  dibeberapa  sisi,  hingga munculah aliran pemikiran yang bernama Positivisme Logis yang tentunya di pelopori oleh tokoh-tokoh yang berasal dari Lingkaran Wina.
Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataan-pernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris.
Tujuan  akhir  dari  penelitian  yang  dilakukan  pada  positivisme  logis adalah  untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal.
Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen, yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional, dan kaidah-kaidah korespondensi yang mengkaitkan keduanya. Tekanan  positivistik  menggaris bawahi  penegasannya  bahwa  hanya  bahasa  observasional  yang menyatakan  informasi  faktual,  sementara  pernyataan-pernyataan  dalam  bahasa  teoritis  tidak mempunyai  arti  faktual  sampai  pernyataan-pernyataan  itu  diterjemahkan  ke  dalam  bahasa observasional dengan kaidah-kaidah korespondensi.
Auguste Comte (1798-1857) sering disebut “Bapak Positivisme“ karena aliran filsafat yang didirikannya tersebut. Positivisme adalah nyata, tidak khayal. Ia menolak metafisika dan teologik. Jadi, menurut dia ilmu pengetahuan harus nyata dan bermanfaat serta diarahkan untuk mencapai kemajuan.
Metode positif Auguste Comte menepatkan akal (rasio) pada tempat yang sangat penting. Dalam  usaha  untuk  memecahkan  suatu  masalah  yang  ada  di masyarakat,  kelompok  ini  berusaha mengetahui (lewat penelitian) penyebab terjadinya masalah tersebut untuk selanjutnya diusahakan penyelesaiannya dengan asas positivisme.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar