Skeptisime sebagai sebuah pemahaman bisa dirunut dari yunani kuno.
Pemahaman yang kira-kira secara gampangnya “Tidak Ada yang Bisa Kita Ketahui”,
“Tidak Ada yang Pasti” “Saya Ragu-Ragu.” sebuah pernyataan yang akan diprotes
karena memiliki paradoks. Jika memang tidak ada yang bisa diketahui, darimana
kamu mengetahuinya. Jika memang tidak ada yang pasti, perkataan itu sendiri
sesuatu kepastian. Setidaknya dia yakin kalau dirinya ragu-ragu.
Skeptis juga bisa dianggap sebagai sifat. Kadang kita juga
melakukannya tanpa kita sadari. Ketika kita mendengar bahwa ada cerita kita
diculik pocong tentu saja kita mengerutkan kening. Kemudian kita tidak
mempercayai dengan mudah, kita anggap isapan jempol, urban legend, palsu. Orang
skeptis bisa memberikan argumen-argumen keberatan terhadap cerita tersebut.
Mereka meminta bukti, menyodorkan fakta kenapa cerita itu tak mungkin dan lain
sebagainya.
Dengan kata lain meragukan. Sifat skeptis artinya sifat
meragukan sesuatu. Tidak mau menerima dengan mudah apa adanya. Selalu meragukan
sesuatu jika belum ada bukti yang benar-benar jelas. Jika ada cerita maka tidak
langsung mempercayainya. Sifat semacam ini penting bagi ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan memerlukan suatu kepastian yang
seakurat mungkin karena itu ilmuwan diharapkan skeptis. Ilmuwan
tidak boleh langsung percaya begitu saja terhadap berita, percobaan, dan lain
sebagainya. Ini karena metode dalam ilmu pengetahuan yang ketat.
Jika seseorang menyatakan sebuah teori misalnya “Naga itu
ada!” Ilmuwan kemudian bertanya. Mana buktinya? Ilmu selalu mempertanyakan
bukti. Ini karena ilmu tidak boleh mudah percaya. Ini karena di dunia banyak
penipu dan pembohong, ada mereka yang menyatakan melihat sesuatu padahal tidak
ada di sana. Ada juga mereka yang merasa melihat sesuatu padahal sebenarnya
tidak. Jika komunitas ilmuwan hendak mempercayai hal semacam ini tanpa bukti
dan meminta yang lain supaya percaya, maka ilmu pengetahuan akan dipenuhi
hal-hal yang tidak bisa dipercaya kebenarannya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar