Dalam studi Filsafat
Ilmu, pandangan tentang suatu ‘kebenaran’ sangat tergantung dari sudut pandang
filosofis dan teoritis yang dijadikan pijakan. Teori kebenaran yang paralel
dengan teori pengetahuan yang dibangun, yaitu:
1. Teori Korespondensi (Bertand Russel
1872-1970)
Teori
kebenaran korespondensi adalah “teori kebenaran yang menyatakan bahwa suatu
pernyataan itu benar kalau isi pengetahuan yang terkandung dalam pernyataan
tersebut berkorespondensi (sesuai) dengan objek yang dirujuk oleh pernyataan
tersebut.”
Teori
kebenaran korespondensi adalah teori kebenaran yang paling awal (tua) yang
berangkat dari teori pengetahuan Aristoteles, teori ini menganggap bahwa “suatu
pengetahuan mempunyai nilai benar apabila pengetahuan itu mempunyai saling
kesesuaian dengan kenyataan (realitas empirik) yang diketahuinya”. Contoh:
ilmu-ilmu pengetahuan alam.
Menurut
teori ini, kebenaran atau keadaan benar itu apabila ada kesesuaian
(correspondence) antara arti yang dimaksud oleh suatu pernyataan atau pendapat
dengan objek yang dituju oleh pernyataan atau pendapat tersebut. Dengan
demikian kebenaran epistimologis adalah kemanunggalan/keselarasan antara
pengetahuan yang ada pada subjek dengan apa yang ada pada objek, atau
pernyataan yang sesuai dengan fakta, yang berselaras dengan realitas, yang
sesuai dengan situasi aktual.
Teori
korespondensi ini pada umumnya dianut oleh para pengikut realisme. Diantara
pelopor teori ini adalah Plato, Aristoteles, Moore, russel, Ramsey, dan Tarski.
Mengenai teori korenspondensi tentang kebenaran, dapat disimpulkan sebagai berikut:
“Kebenaran
adalah kesesuaian antara pernyataan tentang sesuatu dengan kenyataan itu
sendiri.”
2. Teori Koherensi tentang Kebenaran
(Konsistensi)
Tokoh
teori kebenaran Koherensi adalah Spinosa, Hegel, dan Bradley. Suatu pengetahuan
dianggap benar menurut teori ini adalah “bila suatu proposisi itu mempunyai
hubungan dengan ide-ide dari proposisi yang terdahulu yang bernilai benar”. Jadi,
kebenaran dari pengetahuan itu dapat diuji melalui kejadian-kejadian sejarah,
atau melalui pembuktian logis atau matematis. Pada umumnya ilmu-ilmu
kemanusiaan, ilmu sosial, ilmu logika, menuntut kebenaran koherensi.
Menurut
teori ini kebenaran tidak dibentuk atas hubungan antara putusan dengan fakta
atau realita, tetapi atas hubungan antara putusan-putusan itu sendiri, dengan
kata lain kebenaran ditegakkan atas hubungan antara putusan yang baru dengan
putusan-putusan lainnya yang telah kita ketahui dan kebenarannya terlebih
dahulu.
Teori
ini menganggap bahwa “Suatu pernyataan dapat dikatakan benar apabila pernyataan
itu bersifat koheren atau konsisten dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya
yang di anggap benar.”
Misalnya
bila kita menganggap bahwa pernyataan “semua hewan akan mati” adalah suatu
pernyataan yang benar, maka pernyataan “bahwa ayam adalah hewan, dan ayam akan
mati” adalah benar pula, sebab pernyataan kedua adalah konsisten dengan
pernyataan yang pertama.
Jadi
menurut teori ini, “putusan yang satu dengan putusan yang lainnya saling
berhubungan dan saling menerangkan satu sama lain. Maka lahirlah rumusan
kebenaran adalah konsistensi, kecocokan.”
3. Teori Pragmatis (Charles S
1839-1914)
Tokoh
Teori kebenaran Pragmatis adalah William James dan John Dewey. Suatu pengetahuan
atau proposisi dianggap benar menurut teori ini adalah “bila proposisi itu
mempunyai konsekuensi-konsekuensi praktis (ada manfaat secara praktis) seperti
yang terdapat secara inheren dalam pernyataan itu sendiri”, maka menurut teori
ini, tidak ada kebenaran mutlak, universal, bediri sendiri, dan tetap.
Kebenaran selalu berubah dan tergantung serta dapat dikoreksi oleh pengamalan
berikutnya.
Untuk
pertama kalinya teori ini tertuang dalam sebuah makalah tahun 1878 yang
berjudul “ How To Make Our Ideas Clear”, lalu kemudian di kembangkan oleh
beberapa ahli filsafat yang kebanyakan orang berkebangsaan Amerika, dan
menyebabkan filsafat ini sering dikaitkan dengan filsafat Amerika. Ahli
filsafat ini antara lain William James (1842-1910), John Dewey (1859-1952),
Geore Herbart Mead (1863-1931). “Kebenaran bagi aliran ini diukur dengan apakah
pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis atau tidak?”
Jika
seseorang menyatakan teori x dalam pendidikan, lalu dari teori itu dikembangkan
teori Y dalam meningkatkan kemampuan belajar, maka teori X dianggap benar karena
fungsional.
Pragmatism
berasal dari bahasa Yunani Pragma, artinya yang dikerjakan, yang dilakukan,
perbuatan, dan tindakan. Menurut teori ini benar tidaknya suatu ucapan, dalil,
atau teori semata-mata bergantung pada asas manfaat. Sesuatu dianggap benar
jika mendatangkan manfaat dan akan dikatakan salah jika tidak mendatangkan
manfaat bagi kehidupan manusia. Teori, hipotesa, atau ide adalah benar apabila
ia mambawa kepada akibat yang memuaskan, apabila ia berlaku pada praktek,
apabila ia mempunyai nilai praktis. Kebenaran terbukti oleh kegunaannya, oleh
hasilnya dan oleh akibat-akibat praktisnya. Jadi kebenaran ialah apa saja yang
berlaku.
4. Teori Kebenaran Sintaksis
Teori
Kebenaran Sintaksis berkembang diantara para filsuf analisa bahasa, seperti
Friederich Schleiermacher. Menurut teori ini, ‘suatu pernyataan dianggap benar
bila pernyataan itu mengikuti aturan sintaksis (gramatika) yang baku.’
5. Teori Kebenaran Semantis
Teori
kebenaran Semantis. Menurut teori kebenaran semantik, suatu proposisi memiliki
nilai benar ditinjau dari segi arti atau makna. Apakah proposisi itu pangkal
tumpuannya pengacu (referent) yang jelas?. Jadi, memiliki arti maksudnya
menunjuk pada referensi atau kenyataan, juga memiliki arti yang bersifat
definitif.
6. Teori Kebenaran Non- Deskripsi
Teori
Kebenaran Non-Deskripsi dikembangkan oleh penganut filsafat fungsionalisme.
Jadi, menurut teori ini suatu statemen atau pernyataan itu akan mempunyai nilai
benar ditentukan (tergantung) peran dan fungsi pernyataan itu (mempunyai fungsi
yang amat praktis dalam kehidupan sehari-hari).
7. Teori Kebenaran Logik
Teori
Kebenaran Logik dikembangkan oleh kaum positivistik. Menurut teori ini, bahwa
problema kebenaran hanya merupakan kekacauan bahasa saja dan hal ini akibatnya
merupakan suatu pemborosan, karena pada dasarnya pernyataan yang hendak
dibuktikan kebenarannya memiliki derajat logik yang sama yang masing-masing
saling melingkupinya.
8. Agama sebagai Teori Kebenaran
Manusia
adalah makhluk pencari kebenaran, salah satu cara untuk menemukan suatu
kebenaran adalah melalui agama. Agama dengan karakteristiknya sendiri
memberikan jawaban atas segala persoalan asasi yang dipertanyakan manusia, baik
tentang alam, manusia, maupun tentang Tuhan. Kalau ketiga teori kebenaran
sebelumnya lebih mengedepankan akal, budi, rasio, dan reason manusia, maka
dalam teori ini lebih mengedepankan wahyu yang bersumber dari Tuhan.
Penalaran
dalam mencapai ilmu pengetahuan yang benar dengan berfikir setelah melakukan
penyelidikan dan pengalaman. Sedangkan manusia mencari dan menentukan kebenaran
sesuatu dalam agama dengan jalan mempertanyakan atau mencari jawaban tentang
masalah asasi dari atau kepada kitab suci, dengan demikian suatu hal itu
dianggap benar apabila sesuai dengan ajaran agama atau wahyu sebagai penentu
kebenaran mutlak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar