Nama : Nur Alviah
Nim : 2225140940
Kelas : 3A
PERTANYAAN
DAN JAWABAN UTS
1.
Apakah Filsafat itu dan
bagaimana hubungannya dengan pendidikan?
Jawab
:
Filsafat
adalah suatu ilmu yang mempersoalkan segala sesuatu yang ada dan mungkin ada
dalam alam semesta ini secara universal (menyeluruh), sistematis (teratur), dan
radikal (mendalam) untuk menemukan kebenaran yang hakiki atau hakikat
kebenarannya. Pengertian filsafat dapat
dipandang dari dua segi: Pertama, filsafat dilihat dari segi hasil
pengetahuan. Kedua, filsafat dilihat dari segi aktivitas budi manusia.
Dilihat dari segi pengetahuan, filsafat adalah jenis pengetahuan yang berusaha mencari hakikat dari segala sesuatu
yang ada. Dilihat dari segi aktivitas budi manusia, filsafat adalah metode atau cara yang radikal hendak mencari
keterangan yang terdalam tentang segala sesuatu yang ada.
Hubungan antara filsafat dan
pendidikan terkait dengan persoalan logika, yaitu logika formal yang dibangun atas prinsip koherensi, dan logika dialektis yang dibangun atas prinsip menerima dan membolehkan kontradiksi. Hubungan
interakif antara filsafat dan pendidikan berlangsung dalam lingkaran kultural
dan pada akhirnya menghasilkan apa yang disebut dengan filsafat pendidikan.
2.
Filsafat ilmu merupakan cabang dari
filsafat pengetahuan atau epistemologi yang disebut pula dengan The Theory of Knowledge. Mengapa
demikian? (jelaskan berdasarkan istilah tersebut), dan apa yang sebenarnya menjadi
ruang lingkup kajian dari disiplin Filsafat Ilmu serta apa manfaat Filsafat
Ilmu dalam kehidupan kita sebagai seorang ilmuwan. Jelaskan!
Jawab:
Kerangka pengetahuan adalah sebuah ilmu yang dibangun berdasarkan filsafat pengetahuan (Epistemology) yang kemudian menjadi salah satu dasar penyangga ilmu pengetahuan. Sebuah ilmu berasal dari proses apa yang namanya “tahu” yang kemudian berkembang menjadi pengetahuan (knowledge). Pengetahuan dapat diperoleh melalui pemahaman yang dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera, akal dan hati. Sarana pendukung di dalam mendapatkan pengetahuan yaitu logika, matematika, statistika, bahasa dan metodologi penelitian. Oleh karenanya sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa filsafat pengetahuan (philosopi of scientific knowledge) disebut sebagai The Theory of Knowledge.
Kerangka pengetahuan adalah sebuah ilmu yang dibangun berdasarkan filsafat pengetahuan (Epistemology) yang kemudian menjadi salah satu dasar penyangga ilmu pengetahuan. Sebuah ilmu berasal dari proses apa yang namanya “tahu” yang kemudian berkembang menjadi pengetahuan (knowledge). Pengetahuan dapat diperoleh melalui pemahaman yang dilakukan dengan cara persepsi baik lewat indera, akal dan hati. Sarana pendukung di dalam mendapatkan pengetahuan yaitu logika, matematika, statistika, bahasa dan metodologi penelitian. Oleh karenanya sudah tidak dapat dipungkiri lagi bahwa filsafat pengetahuan (philosopi of scientific knowledge) disebut sebagai The Theory of Knowledge.
Ruang lingkup kajian dari disiplin
filsafat ilmu adalah:
·
Wilayah ontologis: Objek apa
yang ditelaah ilmu? Bagaimana wujud yang hakiki dari objek tersebut? Bagaimana
hubungan antara objek tadi dengan daya tangkap manusia?
·
Wilayah epistemologis: Bagaimana
proses yang memungkinkan ditimbanya pengetahuan yang berupa ilmu? Bagaimana prosedurnya?
Hal-hal apa yang harus diperhatikan agar kita mendapatkan pengetahuan yang
benar? Apa yang disebut kebenaran itu sendiri? Apakah kriterianya? Cara atau
teknik atau sarana apa yang membantu kita dalam mendapatkan pengetahuan yang
berupa ilmu?
·
Wilayah aksiologis: Untuk apa
pengetahuan yang berupa ilmu itu dipergunakan? Bagaimana kaitan ilmu
pengetahuan dengan kaidah-kaidah moral atau etika? Bagaimana penentuan objek
dan metode yang ditelaah berdasarkan pilihan-pilihan moral? Bagaimana hubungan
antara teknik prosedural yang merupakan operasionalisasi metode ilmiah dengan
norma-norma moral atau profesional?
Manfaat
filsafat ilmu dalam kehidupan kita sebagai seorang ilmuwan adalah untuk
mengetahui sesuatu yang lebih dalam lagi mengenai hakikat ilmu, cara memperoleh
ilmu tersebut, serta manfaat dari ilmu yang ditemukan. Filsafat
ilmu dengan cakupan bahasannya mengenai tiang penyangga eksistensi ilmu yaitu
ontologi, epistimologi dan aksiologi, memungkinkan adanya keterjalinan antar
cabang ilmu (Siswomihardjo, tt). Sehingga, persoalan-persoalan yang
begitu sulit diselesaikan bersama, akan dapat dipecahkan bersama antar berbagai
disiplin ilmu, bahkan dengan pengetahuan-pengetahuan yang lain, yang secara
aksiologis kesemuanya bermuara pada tujuan yang sama, yaitu kemaslahatan
manusia.
3.
Bagaimana kita dapat membedakan
antara paradigma Positivisme dengan Post-Positivisme sehingga kita tidak keliru
dalam hal mempelajarinya?
Jawab:
Positivisme
merupakan Aliran pemikiran yang membatasi pikiran pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan
pengamatan atau pada
analisis definisi dan relasi antara
istilah-istilah, sedangkan Post-positivisme merupakan
perbaikan positivisme. Secara
ontologis, aliran postpositivisme
bersifat critical realism, artinya realitas itu memang ada, tetapi tidak akan
pernah dapat dipahami artinya sepenuhnya. Indikator yang membedakan antara
Paradigma positivisme dan post-positivisme adalah post- positivisme lebih
mempercayai proses verifikasi terhadap suatu temuan hasil observasi melalui
berbagai macam metode.
Untuk
dapat membedakan paradigma
Positivisme dan paradigma Postpositivisme, maka dapat digambarkan dalam tabel berikut:
NO
|
ASUMSI
|
POSITIVISME
|
POST-POSITIVISME
|
1
|
Ontology
|
Bersifat
nyata, artinya realita itu mempunyai keberadaan sendiri dan diatur
oleh hukum-hukum alam dan mekanisme yang bersifat tetap.
|
Realis
kritis, artinya realitas itu
memang ada, tetapi tidak
akan pernah dapat dipahami sepenuhnya.
|
2
|
Epistemologi
|
·
Dualis/objektif, adalah mungkin
dan esensial bagi peneliti
untuk mengambil jarak dan bersikap tidak melakukan interaksi dengan objek yang diteliti.
·
Nilai, faktor bias dan faktor yang
mempengaruhi lainnya secara otomatis tidak mempengaruhi hasil studi.
|
·
Objektivis modifikasi, artinya objektivitas tetap
merupakan pengaturan
(regulator) yang ideal, namun objektivitas hanya
dapat diperkirakan dengan penekanan khusus pada
penjaga eksternal, seperti
tradisi dan komunitas yang kritis.
|
3
|
Metodologi
|
Bersifat eksperimental / manipulatif: pertanyaan-pertanyaan dan/atau hipotesis-hipotesis dinyatakan
dalam bentuk proposisi sebelum penelitian dilakukan dan
diuji secara empiris (falsifikasi) dengan
kondisi yang terkontrol secara
cermat.
|
Bersifat eksperimental / manipulatif yang dimodifikasi, maksudnya menekankan sifat
ganda yang kritis. Memperbaiki
ketidakseimbangan
dengan
melakukan
penelitian dalam latar yang
alamiah, yang lebih
banyak menggunakan
metode-metode kualitatif, lebih
tergantung pada teori
grounded (grounded theory) dan memperlihatkan upaya (reintroducing) penemuan dalam proses penelitian.
|
4.
Apa alasan yang melatarbelakangi
munculnya/lahirnya aliran filsafat eksistensialisme?
Jawab :
Eksistensialisme merupakan
suatu aliran filsafat yang lahir karena latar belakang ketidakpuasan beberapa
filusuf yang memandang bahwa filsafat pada masa Yunani hingga Modern, seperti
protes terhadap rasionalisme Yunani, khususnya pandangan tentang spekulatif
tentang manusia. Intinya adalah Penolakan untuk mengikuti suatu aliran,
penolakan terhadap kemampuan suatu kumpulan keyakinan, khususnya kemampuan
sistem, rasa tidak puas terhadap filsafat tradisional yang bersifat dangkal,
akademik, dan jauh dari kehidupan. Salah satu latar belakang dan alasan
lahirnya aliran ini juga karena sadarnya beberapa golongan filusuf yang
menyadari bahwa manusia mulai terbelenggu dengan aktifitas teknologi yang
membuat mereka kehilangan hakekat hidupnya sebagai manusia atau mahluk yang
bereksistensi dengan alam dan lingkungan sekitar. Dengan demikian, lahirlah
aliran filsafat Eksistensialisme yang merupakan aliran filsafat yang bertujuan
mengembalikan keberadaan umat manusia sesuai dengan keadaan hidup asasi yang
dimiliki dan dihadapinya, sehingga manusia menyadari cara beradanya di dunia
berbeda dengan cara beradanya benda-benda materi yang lain. Cara beradanya
manusia adalah hidup bersama dengan manusia lainnya, ada kerjasama dan
komunikasi serta dengan penuh kesadaran, sedangkan benda-benda meteri lainnya
keberadaannya berdasarkan ketidak sadaran akan dirinya sendiri dan tidak dapat
berkomunikasi antara satu dengan yang lainnya.
5.
Kapan fenomena itu ada dan bagaimana
membentuk fenomena yang konstruktif? Kemudian dibalik berbagai kelebihan
fenomenologi, fenomenologi tak luput dari kelemahan yang menuai kritik. Apa
saja kritik terhadap fenomenologi tersebut?
Jawab :
Sebagaimana yang dijelaskan oleh
Immanuel Kant terkait dengan caranya dalam menjembatani perbedaan antara
empirisme dan rasionalisme, adalah apa yang tampak kepada kita maka itu lah
pengetahuan atau fenomena. Di mana fenomena ialah sesuatu yang tampak
dengan sendirinya dan merupakan hasil sintesis antara penginderaan dan
bentuk konsep dari objek. Jadi dalam sederhananya, fenomena itu ada ketika
indera kita bercampur dengan konsep yang telah terbentuk dari objek. Oleh
karena itu, pengalaman subyektif individu terkait erat dengan pandangan individu
itu sendiri dengan dunianya. Dalam membentuk fenomena yang kontruktif, manusia
menempatkan kesadaran dan makna subjektifnya sebagai fokus untuk memahami
tindakan sosial yang terjadi di sekelilingnya. Manusia membentuk nilai-nilai
subyektifnya dalam memberikan respon terhadap stimulus-stimulus yang
nampak oleh panca inderawinya.
·
Kritik terhadap fenomenologi
Dibalik berbagai kelebihannya, fenomenologi tak luput
dari kelemahan yang menuai kritik. Kritik pertama terkait dengan tujuan dari
fenomenologi itu sendiri, yakni untuk mendapatkan pengetahuan yang murni
objektif tanpa adanya pengaruh dari pandangan-pandangan sebelumnya, baik dari adat,
agama, maupun ilmu pengetahuan merupakan sesuatu yang absurd, karena
fenomenologi sendiri mengakui bahwa ilmu pengetahuan yang diperoleh tidaklah
terbebas nilai (value-free), melainkan bermuatan nilai (value-bound).
Selain itu, fenomenologi tidak dapat menegaskan suatu objektivitas (penelitian
bebas nilai), namun sepenuhnya ditafsirkan secara subyektif yang menyebabkan
pengetahuan menjadi bersifat sementara (relatif). Sebagai akibatnya, tujuan penelitian fenomenologis
tidak pernah dapat terwujud.
Kritik kedua terkait dengan pemberian peran terhadap
peneliti untuk terlibat langsung ke dalam objek yang tengah diamati, sehingga
jarak antara peneliti dengan objek menjadi tidak jelas. Pengetahuan yang
diperoleh menjadi cenderung subjektif, yang hanya dapat berlaku pada kasus,
situasi, kondisi dan waktu tertentu. Dengan kata lain, pengetahuan yang
diperoleh dari hasil penelitian fenomenologi tidak dapat digeneralisasi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar