Tokoh-Tokoh Filsafat Islam dan Pemikirannya
1. Ibnu Miskawaih
a. Sejarah lahir
Nama
lengkap Ibnu Miskawaih adalah Abu Ali Ahmad ibnu Muhammad ibnu Ya’kub ibnu
Miskawaih. Ia dilahirkan di kota Rayy, Iran pada tahun 330 H/ 941 M dan wafat
di asfahan pada tanggal 9 Shafar 421 H/ 16 Februari 1030 M. Dari buku yang kami
dapatkan, tidak ada penjelasan yang sangat rinci mengungkapkan biograpinya.
Namun, ada beberapa hal yang perlu dijelaskan, bahwa ibnu miskawaih belajar
sejarah terutama Taarikh al-Thabari kepada Abu Bakar Ibnu Kamil Al-Qadhi
dan belajar filsafat kepada Ibnu Al-Khammar, mufasir kenamaan karya-karya Aristoteles.
Ibnu
Miskawaih adalah seorang penganut syi’ah. Hal ini didasarkan pada pengabdiannya
kepada sultan dan wazir-wazir syi’ah pada masa pemerintahan Bani Buwaihi (320–
448 M). Dan ketika sultan Ahmad ‘Adhud Al-Daulah menjabat sebagai kepala
pemerintahan, ibnu Miskawaih menduduki jabatan yang penting, seperti
pengangkatannya sebagai Khazin, penjaga perpustakaan Negara dan bendahara
negara.
b. Karyanya
Dalam
karyanya dalam disiplin ilmu meliputi kedokteran, sejarah dan filsafat. Akan
tetapi, dia lebih terkenal sebagai seorang filosof akhlak, (al-falsafat
al-‘amaliyat) ketimbang dengan seorang filosof ketuhanan (al-falsafat
al-nazhariyyat al-Illahiyat).
Dalam
buku The History of the Muslim Philoshopy disebutkan bahwa karya
tulisannya itu; Al-Fauz al-Akbar, al-Fauz al-Asghar, Tajaarib al-Umaan (
sebuah sejarah tentang banjir besar yana ditulis pada tahun 369 H/ 979 M),
Uns al-Fariid ( yakni koleksi anekdot, syair, peribahasa, dan kata-kata
hikmah ), Tartiib al-Sa’adat ( isinya ahlak dan politik), al-Mustaufa
(isinya syair-syair pilihan), al-Jaami’, al-Siyaab, On the Simple Drugs
(tentang kedokteran), On the composition of the Bajats (tentang kedokteran),
Kitaab al-Ashribah (tentang minuman), Tahziib al-Akhlak (tentang akhlak),
Risaalat fi al-Lazza wa al-Aalam fil jauhar al-Nafs, ajwibaat wa As’ilat fi
al-Nafs wa al-‘Aql, Al-Jawaab fi Al-Masaa’il al-Salas, Risaalat fi Jawaab fi
Su’al Ali ibnu Muhammad Abuu Hayyan al-Shufii fi HAqiiqat al-‘Aql, dan Tharathat
al-Nafs.
c. Akhlak
Ibnu
Miskawaih yang terkenal sebagai seorang yang moralis berpendapat bahwa
akhlak adalah suatu sikap atau keadaan jiwa yang mendorongnya untuk
berbuat tanpa berpikir dan sama sekali tidak ada pertimbangan. Dengan kata
lain, ahklak adalah tindakan yang tidak ada sama sekali pertentangan dalam
dirinya untuk melakukan sesuatu. Menurut kami, ungkapan beliau mengenai hal ini
sama dengan perkataan plato yang mengatakan bahwasanya cinta adalah gerak jiwa
yang kosong.
Ibnu
Miskawaih juga membagi tingkah laku pada dua unsur, yakni unsur watak naluriah
dan unsur watak kebiasaan dengan melakukan latihan (riyadhoh). Serta dia
berpandangan bahwa jiwa mempunyai tiga daya yang mana apabila ketiga daya ini
beserta sifat-sifatnya selaras, maka akan menimbulkan sifat yang keempat, yakni
adil.
Adapun
tiga daya yang dia maksud adalah daya pikir, daya marah, dan daya keinginan.
Sedangkan yang dia maksud dengan sifat utama mengenai ketiga daya ini, antara
lain :
1. Sifat
hikmah merupakan sifat utama bagi jiwa yang berpikir yang mana hikmah ini lahir
dari ilmu.
2. Rasa
berani merupakan sifat utama bagi jiwa marah yang mana sifat berani ini timbul
dari sifat hilm (mawas diri).
3. Sedangkan
sifat utama bagi jiwa keinginan adalah sifat murah yang merupakan sifat
utamanya yang lahir dati ‘iffah (memelihara kehormatan diri).
Dapat
disimpulkan bahwasanya sifat utama itu antara lain; hikmah, berani, dan murah
yang apabila ketiga sifat utama ini selaras, maka sifati keempat akan timbul
darinya, yakni keadilan. Sedangkan lawan dari semua sifat itu adalah bodoh,
rakus, penakut, dan zalim.
2. Ibnu Rusyd
a. Sejarah Kelahirannya
Nama
asli dari Ibnu Rusyd adalah Abu Al-Walid Muhammad ibnu Ahmad ibnu Muhammad ibnu
Rusyd, beliau dilahirkan di Cordova, Andalus pada tahun 510 H/ 1126 M, 15 tahun
setelah kematiannya imam ghazali. Di dunia barat dia lebih terkenal dengan
sebutan Averros, sedang di dunia islam sendiri lebih terkenal dengan nama ibnu
Rusyd. Ibnu Rusyd adalah keturunan keluarga terhormat yang terkenal sebagai
tokoh keilmuwan, sedang ayah dan kakeknya adalah mantan hakim di andalus. Pada
tahun 565 H/ 1169 M dia diangkat menjadi seorang hakim di Seville dan Cordova.
Dan pada tahun 1173 ia menjadi ketua mahkamah agung, Qadhi al-Qudhat di
Cordova.
Salah
satu faktor yang membuatnya menjadi seorang ilmuwan adalah karena dia tumbuh
dan hidup dalam keluarga yang Ghirah-nya besar sekali dalam
bidang keilmuwan. Akan tetapi yang menjadi faktor utamanya karena ketajamannya
dalam berpikir serta kejeniusan otaknya. Dengan semua faktor-faktor di atas,
tidaklah heran apabila dia menjadi seorang ilmuwan Muslim yang terkemuka.
Hal
yang sangat mengagumkan dari ibnu Rusyd adalah semenjak dia sudah mulai berakal
(masa baligh) hampir semua hidupnya ia pergunakan untuk belajar dan membaca.
Tak pernah dia melewatkan waktunya selain untuk berpikir dan membaca, kecuali
pada malam ayahnya meninggal dan ketika malam pernikahannya. Dengan keadaan
seperti ini, membuat pemikirannya semakin tajam dan kuat dari waktu ke waktu.
Kehidupannya
sebagai seorang hakim tidaklah mulus, ibnu Rusyd pernah mengalami akan tuduhan
pahit, yang pada dasarnya hanya untuk keperluan mobilisasi menghadapi
pemberontakkan Kristen Spanyol, dia di tuduh kafir, lalu dia di adili dan
sebagai hukumannya dia di buang ke Lucena, dekat Cordova. Tidak hanya itu saja,
semua jabatannya sebagai hakim mahkamah agung dicopot serta semua bukunya di
bakar, kecuali buku yang bersifat ilmu pengetahuan murni (sains),
seperti kedokteran, matematika dan astronomi.
Setahun
lamanya ibnu Rusyd mengalami masa yang sangat getir itu, dan pada tahun 1197 M,
khlifah mencabut hukumannya dan mengembalikkan semua pangkat yang pernah dia
pegang sebelumnya. Ibnu Rusyd meninggal 10 desember 1198 M/ 9 Shafar 595 H di
marakesh dalam usia 72 tahun menurut perhitungan Masehi dan 75 tahun menurut
perhitungan tahun Hijriyah.
b. Karyanya
Tulisan
ibnu Rusyd yang dapat kita dapati pada sekarang ini antara lain; Fashl
al-Maqaal fi maa bain al-Hikmat wa al-Syari’ah min al-Ittishaal, buku ini
berisikan korelasi antara agama dan filsafat. Al-Kasyf’an Manaahij
al-Sdillah fi Aqaa’id al-Millat, sedang buku ini berisikan tentang kritik
terhadap metode para ahli ilmu kalam dan sufi. Tahaafut al-Tahaafut,
kitab ini berisikan tentang kritikan terhadap imam ghazali yang kitabnya
berjudul Tahaafut al-Falaasifah. Sedangkan karnyanya dalam bidah fiqih
yaitu buku yang berjudul Bidaayat al-Mujtahid wa Nihaayat al-Muqtashid.
c. Hukum Sebab-Akibat dan Hubungannya dengan Mukjizat
Berikut
ini merupakan bantahan Ibnu Ruysd terhadap Imam Ghazali mengenai sebab-akibat
yang memang merupakan kejadian yang keluar dari kebiasaan :
1.
Terdapat Hubungan yang Dharuuriiy
(pasti) Antara Sebab dan Akibat
Menurut
ibnu rusyd, bahwasanya semua benda atau segala sesuatu yang ada di alam ini
memiliki sifat dan cirri tertentu yang disebut dengan zatiyah. Dengan
arti bahwasanya untuk terwujudnya sesuatu keadaan mesti ada daya atau kekuatan
yang telah ada sebelumnya. Menurut ibnu Rusyd, kita bisa mengenali mawjud yang
ada ini dengan adanya hukum sebab-akibat zatiyah, maka dengan itu pula
kita bisa membedakan antara satu dengan lainnya.
Misalnya,
api yang sifat zatiyyah-nya adalah membakar, air yang sifat zatiyyah-nya
adalah membasahi. Sifat membakar dan membasahi ini adalah sifat zatiyyah-nya
dan merupakan pembedan antara api dengan air, jika tidak ada sifat tertentu,
tentunya air dan api sama saja, tidak ada bendanya, akan tetapi hal ini adalah
sesuatu yang mustahil.
2.
Hubungan Sebab-Akibat dengan Adat
atau Kebiasaan
Menurut
ibnu rusyd, bahwasanya al-ghazali tidaklah jelas dalam mengemukakan pendapatnya
mengenai sebab-akibat yang dianggap sebagai adat atau kebiasaan. Ibnu Rusyd
mempertanyakan apakah yang al-ghazali maksud ini adalah adat fa’il (Allah),
atau adat maujud, atau juga adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat
atau predikat terhadap maujud ini.
Kalaulah
yang dimaksudnya adalah adat Allah, hal ini mustahil karena apa yang disebut
dengan adat adalah suatu kemampuan atau potensi yang diusahakan oleh fa’il yang
mengkibatkan berulang-ulangnya perhatin mawjud ini. Hal ini sangat
bertentangan dengan ayat Al-Qur’an yang menyatakan bahwa sunnatullah tidak akan
berganti dan tidak berubah. Jika yang dimaksudnya adalah adat bagi maujud,
maka hal ini hanya akan berlaku bagi yang memiliki roh atau nyawa karena bagi
yang selain itu, bukanlah adat namanya, tetapi tabia’at. Dan apabila yang dia
maksud adalah adat bagi kita dalam menentukan suatu sifat atau predikat
terhadap mawjud, sepert si fulan baik san sebagainya, maka hal ini mawjud
terlepas daripada nisbat (hubungan)-nya kepada fa’il (Allah).
3.
Hubungan Sebab-Akibat dengan Akal
Menurut
ibnu Rusyd, pengetahuan akal tidak lebih dari pada pengetahuan tentang gejala
yang mawjud beserta sebab-akibat yang menyertainya. Pengingkaran
terhadap sebab-akibat berarti pengingkaran terhadap akal dan ilmu pengetahuan.
4.
Hubungan Sebab-Akibat dengan Mukjizat
Di
awali dengan pendapatnya Imam Ghazali, ketika seseorang percaya akan
keniscayaan, maka akan mengakibatkannya tidak percaya terhadap adanya mukjizat nabi.
Mengenai hal ini, Ibnu Rusyd membedakan antara dua mukjizat; mukjizat al-Barraaniy
dan mukjizat al-Jawaaniy.
· Mukjizat al-Barraaniy,
adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang Nabi, tetapi tidak sesuai
dengan risalah kenabiannya, seperti tongkat Nabi Musa yang berubah menjadi
ular, nabi Isa yang dapat menghidupkan orang mati, dan lainnya. Mukjizat
seperti ini yang saat itu dipandang sebagai mukjizat atau perbuatan diluar
kebiasaan dan boleh jadi satu waktu dapat diungkapkan oleh pengetahuan. Ketika
ilmu pengetahuan dapat mengungkapkannya, maka ia tidak dipandang sebagai
mukjizat lagi.
· Mukjizat al-Jawaaniy,
adalah mukjizat yang diberikan kepada seorang nabi yang sesuai dengan
risalah kenabiannya, seperti mukjizat Nabi Muhammad SAW, yakni al-Quran.
Mukjizat seperti inilah yang dipandang oleh Ibnu Rusyd sebagai mukjizat yang
sebenarnya, karena Al-Quran tidak dapat diungkapkan oleh pengetahuan (sains)
dimana pun dan kapan pun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar